Bisnis.com, JAKARTA - Masifnya penggunaan batu bara sebagai sumber energi ekses konflik Rusia versus Ukraina telah mengendorkan upaya global memerangi perubahan iklim. Padahal sebelumnya otoritas moneter dan fiskal di banyak negara telah memberi perhatian penuh soal ini, terutama sejak disepakatinya Perjanjian Paris pada 22 April 2016.
Perubahan iklim memang tidak hanya menimbulkan bencana alam yang menelan banyak korban nyawa dan harta, tetapi juga mengganggu stabilitas ekonomi makro dan fiskal. Pasalnya, kerusakan hebat dari bencana alam membuat pemerintah harus merogoh kocek lebih dalam untuk menopang kegiatan ekonomi dan bantuan sosial. Dan ini berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi, utang publik, dan inflasi.
Selain itu, perubahan iklim dapat memengaruhi kestabilan sistem keuangan. Artikel di laman the Financial Times berjudul “Threat from climate change to financial stability bigger than Covid-19”, 7 Juni 2020, bahkan menyebutkan perubahan iklim menimbulkan ancaman yang lebih besar bagi stabilitas sistem keuangan ketimbang pandemi.
Pendapat senada juga dilontarkan oleh sebuah lembaga nonprofit di Eropa, Finance Watch. Lembaga itu mengatakan, pembiayaan untuk energi fosil menimbulkan perubahan iklim yang kemudian mengancam kestabilan sistem keuangan melalui bencana alam.
Perubahan iklim telah menjadi sumber instabilitas sistem keuangan yang membuat sistem keuangan tidak berfungsi optimal dalam membiayai ekonomi. Laporan Global Risk Report 2020 lebih tegas lagi dengan menunjukkan lima risiko yang terbesar yang mungkin terjadi pada 10 tahun ke depan yang kesemuanya terkait dengan iklim.
Ada dua jenis risiko yang ditimbulkan perubahan iklim yaitu risiko fisik dan transisi. Risiko fisik bertautan dengan kerusakan aset secara fisik akibat bencana alam. Sementara risiko transisi muncul akibat adanya transisi kebijakan ke kerangka kebijakan yang mengurangi emisi. Misalnya, ada keputusan pemerintah untuk menggantikan energi fosil ke energi terbarukan, maka keputusan itu menimbulkan implikasi finansial, mulai dari ditutupnya kegiatan pertambangan, pabrik pengolahan hasil tambang hingga terhentinya aktivitas ekonomi penunjang yang terkait dengan pertambangan itu.
Transmisi kedua risiko itu memengaruhi stabilitas sistem keuangan melalui beberapa jalur. Pertama, perubahan iklim meningkatkan kemungkinan debitur bank mengalami gagal bayar. Ini terjadi bila bencana alam meluluhlantakan usaha debitur. Dan karena kerusakan akibat bencana alam bersifat massal dalam satu wilayah yang luas, maka akan banyak usaha debitur yang terhenti. Imbasnya, perbankan akan terpapar risiko kredit.
Kedua, perubahan iklim mendorong perbankan mengurangi kucuran kreditnya. Saat terjadi kerusakan hebat, perbankan mengambil sikap hati-hati dan cenderung menghindari risiko. Tindakan bank tersebut akan mengerem laju pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, perubahan iklim memicu peningkatan premi asuransi. Bahkan perusahaan asuransi bisa tidak lagi menawarkan produknya karena risiko yang semakin tinggi di daerah tertentu. Misalnya di kawasan yang rawan terbakar. Tingginya risiko tersebut membuat perusahaan asuransi tidak lagi menjual produk asuransi kebakaran. Akibatnya, penyaluran kredit properti menjadi berisiko atau premi asuransi kebakaran meningkat sehingga biaya kredit properti kian membumbung tinggi.
Keempat, perubahan iklim menyusutkan nilai aset properti atau keuangan. Ini terjadi bila aset tersebut mengalami kerusakan akibat bencana alam, lalu menurunkan harga properti dan memaparkan risiko pada kredit properti.
Sementara penurunan nilai pada aset keuangan terjadi bila korporasi yang terdampak bencana alam telah mengeluarkan saham atau obligasi untuk pembiayaan usahanya. Usaha mereka yang terhenti menyebabkan nilai aset keuangan tersebut menciut. Ini bisa memicu penjualan aset keuangan secara besar-besaran oleh investor. Pasar keuangan akan terguncang bila transaksinya signifikan.
Untuk menghadapi dampak perubahan iklim pada stabilitas sistem keuangan, maka korporasi, perbankan dan otoritas keuangan harus mengambil tindakan mitigasi risiko. Korporasi dan perbankan perlu memasukkan risiko perubahan iklim dalam strategi bisnis dan kerangka kerja manajemen risiko mereka. Dari sisi otoritas, risiko iklim menjadi bagian dari penilaian sistem manajemen risiko bank oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), termasuk Bank Indonesia (BI) bila risiko tersebut akan menganggu kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. BI juga perlu menjadikan risiko iklim sebagai bagian dari surveilans sistem keuangan.
Adapun untuk mendorong sistem keuangan menjadi lebih hijau, BI mengeluarkan kebijakan makroprudensial pada akhir 2019 berupa relaksasi Loan to Value (LTV) dalam penyaluran kredit properti, di mana tambahan relaksasi LTV sebesar 5 persen diberikan pada properti yang berwawasan lingkungan. Sementara untuk mengurangi penyaluran kredit pada usaha korporasi yang menimbulkan pemanasan global, OJK dapat meningkatkan bobot risiko atas eksposur kredit itu.