Bisnis.com, JAKARTA — Komisi VII DPR RI berkomitmen untuk menguatkan posisi kelembagaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) untuk menjadi badan usaha khusus seiring upaya percepatan revisi Undang-Undang Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang ditarget rampung pada pertengahan tahun depan.
Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mengatakan penguatan SKK Migas untuk menjadi badan usaha khusus yang mengurusi sepenuhnya tata kelola hulu Migas diperlukan untuk membenahi pendanaan, eksplorasi serta kepercayaan investor pada sektor hulu Migas dalam negeri.
Lewat revisi UU Migas, Sugeng menambahkan, badan usaha khusus itu bakal mengelola dana migas yang dipungut dari industri hulu melalui skema petroleum fund. Selain itu, badan usaha khusus itu akan difokuskan untuk melakukan eksplorasi dan mengelola cadangan Migas nasional.
“Badan usaha khusus itu bisa dalam bentuk badan usaha milik negara [BUMN] yang secara khusus mengelola sektor hulu,” kata Sugeng saat ditemui di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (28/7/2022).
Sugeng menerangkan pembentukan badan khusus itu mesti dilakukan untuk menguatkan kegiatan eksplorasi dan pengelolaan cadangan Migas yang selama ini dilakukan secara terbatas oleh SKK Migas.
“Yang ada saat ini eksplorasi dilakukan oleh kontraktor kontrak kerja sama (K3S) tetapi kan mereka hanya fokus pada wilayah kerjanya untuk menyiapkan cadangan mereka sekaligus portofolionya,” kata dia.
Baca Juga
Di sisi lain, dia menambahkan, inisiatif petroleum fund perlahan bakal mengurangi ketergantungan kegiatan industri hulu Migas pada alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022.
“Jadi nanti fungsi APBN sebagai stimulan tetap ada kita mau komit betul di hulu itu dengan adanya petroleum fund, dari pajak, ekspor, pungutan-pungutan Migas,” kata dia.
Penyelesaian Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) dinilai dapat memperbaiki iklim investasi Indonesia yang saat ini dirasa kurang menarik oleh investor.
Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, revisi UU Migas sangat diperlukan untuk memperbaiki iklim investasi Indonesia. Pasalnya, hingga kini masih terdapat pungutan-pungutan yang memberatkan investor untuk melakukan kegiatan eksplorasi migas di Indonesia.
Dia menjelaskan, salah satu penyebab banyaknya pungutan tersebut adalah UU Migas Nomor 22/2001, khususnya terkait prinsip assume and discharge dalam hal pungutan dan pajak dan tidak lagi bisa diterapkan di sistem kontrak yang ada.
“Revisi UU Migas, sejak lama sudah disuarakan, tapi tidak kunjung dilakukan,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (6/2/2022).