Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai para pelaku ekspor atau eksportir asal Indonesia mulai ketar-ketir lantaran mendapat efek domino melonjaknya harga bahan bakar minyak (BBM) di Amerika Serikat (AS).
"Banyak pelaku usaha [eksportir] mulai terdampak dan bersiap mengurangi kapasitas produksi serta pembelian bahan baku," katanya dikutip dari Tempo.co, Minggu (24/7/2022).
Seperti diketahui, Harga BBM di Amerika melejit seiring dengan ledakan inflasi di negara tersebut yang mencapai 9,1 persen pada Juni 2022. Di Arizona, misalnya, harga BBM meningkat dua kali lipat dari semula di bawah US$3 per galon menjadi US$5-6 per galon.
Menurut Bhima, inflasi yang terlalu tinggi dan persisten di Amerika berpotensi mempengaruhi kebijakan negara-negara maju untuk menaikkan suku bunga. Apalagi, bank sentral AS atau The Fed membuka peluang menaikkan tingkat suku bunga acuan sampai 75 basis poin.
Dia mengatakan situasi ini diperkirakan bakal memicu eksodus modal asing dan melemahkan kurs rupiah. Pasar ekspor ke Amerika juga menjadi kurang menarik, meski porsinya hanya 13 persen dari total ekspor Indonesia.
"Krisis di Amerika terjadi karena harga crude oil mengalami kenaikan yang signifikan akibat perang di Ukraina. Beberapa kontrak pembelian minyak mentah dari Rusia terpaksa diputus pada waktu yang sama," ujarnya.
Baca Juga
Sementara itu, lanjutnya, banyak pelaku industri BBM di Amerika tidak siap dengan situasi geopolitik ini sehingga pasokan berkurang.
Pemicu lainnya, yaitu sanksi dari barat turut berdampak terhadap pengetatan suplai di Amerika Serikat. Dari sisi produksi, kata Bhima, kapasitas kilang telah menurun dibandingkan dengan pra pandemi Covid-19.
"Padahal permintaan BBM mulai naik karena dibukanya sekolah dan pusat perbelanjaan," imbuhnya.