Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia dinilai perlu mewaspadai tingginya bunga untuk pembayaran utang karena dapat menguras anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN. Dengan beban yang ada saat ini, penerbitan utang pun harus lebih hati-hati.
Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini menjelaskan bahwa besarnya utang Indonesia membuat pembayaran utangnya pun menjadi cukup tinggi. Menurutnya, tingkat bunga yang ada saat ini di rentang 7—8 persen itu cukup tinggi.
Sebagai perbandingan, Didik menggunakan tingkat bunga di Jepang yang hanya 0,2 persen. Dengan asumsi nilai utang seperti Indonesia, yakni di kisaran Rp7.000 triliun, maka Jepang hanya perlu membayar bunga Rp14 triliun setiap tahunnya karena bunga yang rendah.
"Karena hanya 0,2 persen, dia hanya bayar Rp14 triliun, APBN-nya dikuras Rp14 triliun. Kalau kita bunganya 7—8 persen, itu bisa Rp400 triliun [untuk membayar bunga]. Kan beda jauh," ujar Didik dalam video diskusi Indonesia Business Forum yang diunggah di Twitter, dikutip pada Kamis (21/7/2022).
Menurutnya, beban pembayaran bunga yang tinggi dapat memberikan efek pengurasan APBN. Didik mengingatkan agar pemerintah terus mewaspadai itu, agar kondisi APBN dapat selalu terjaga.
Pemerintah perlu menjaga agar jangan sampai perolehan pajak sama dengan utang yang ada setiap tahunnya, sehingga beban malah menjadi lebih besar.
Baca Juga
Didik pun menyoroti agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan pengawasan yang serius terhadap keuangan pemerintah. Menurutnya, saat ini pelaksanaan check and balance lemah.
"82 persen kursi parlemen dikuasai partai pendukung pemerintah sehingga berpengaruh terhadap 'keberanian' dalam pengawasan," imbuhnya.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah mencapai Rpp7.002,24 triliun atau 38,88 persen terhadap PDB pada Mei 2022. Kemenkeu menyebut, total outstanding dan rasio utang terhadap PDB tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan realisasi pada April 2022.