Bisnis.com, JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia memperkirakan potensi kerugian yang dialami oleh peternak sapi akibat wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) mencapai Rp788,81 miliar. Kerugian di atas belum termasuk kerugian yang diderita oleh para peternak sapi perah akibat menurunnya secara drastis produksi susu sapi yang dihasilkan.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan mitigasi dan penanganan ke depan perlu lebih ditingkatkan mengingat potensi nilai kerugian yang terus meningkat setiap harinya.
Sebagai gambaran, kata dia, berdasarkan data Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) per 13 Juli 2022, sapi perah yang terinfeksi PMK sebanyak 19.267 ekor di Jawa Barat atau 24,65 persen dari total populasi sapi perah, 5.189 di Jawa Tengah atau 12,55 persen dari total populasi sapi perah, dan 55.478 ekor di Jawa Timur atau 31,19 persen dari total populasi sapi perah.
Akibatnya, terjadi penurunan produksi susu masing-masing mencapai 30 persen atau sekitar 137,14 ton, 40 persen atau sekitar 66 ton dan 30 persen atau sekitar 535,71 ton.
“Potensi kerugiannya tidak kurang dari Rp6 miliar per hari, atau dalam satu bulan bisa mencapai R1,7 triliun. Penurunan produksi susu sapi rakyat ini berdampak terhadap meningkatnya impor susu,” ujar Yeka dalam jumpa pers secara virtual, Kamis (14/7/2022).
Yeka menilai penganggulangan PMK oleh pemerintah sangat lambat. Hal tersebut terlihat dengan dikeluarkannya Kepmentan No. 517 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Kepmentan No. 510 Tahun 2022 tentang Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Penyakit Mulut dan Kuku, pada tanggal 7 Juli 2022.
Baca Juga
“Sementinya hal ini bisa ditetapkan paling lambat Tanggal 23 Juni 2022,” ucap Yeka.
Selain itu, berdasarkan pantauan Omudsman, mudahnya lalu lintas hewan yang keluar masuk dari satu daerah ke daerah lainnya di saat kondisi PMK terjadi di beberapa daerah membuktikan adanya potensi penyalahgunaan wewenang terkait penerbitan sertifikat kesehatan hewan.
“Kementerian Pertanian [Badan Karantina] telah lalai dalam melakukan pencegahan keluar masuknya hewan dari daerah zona tertular PMK ke daerah lain yang belum tertular PMK, sehingga menyebabkan semakin bertambahnya penyebaran penyakit PMK, yang awalnya terkonfimrasi 2 provinsi pada 09 Mei 2022, menjadi 22 provinsi pada 13 Juli 2022,” ujarnya.
Menurutnya, banyaknya hewan terjangkit PMK berimplikasi pada banyaknya jumlah hewan yang mati, banyaknya sapi terjangkit sehingga menyebabkan turunnya produktifitas, tingginya nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan secara keseluruhan.
Selain itu, luasnya sebaran wilayah terdampak PMK dinilainya sudah memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai bencana nasional merujuk pada UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
“Terhadap lambatnya upaya penanggulangan dan pengendalian PMK oleh Kementrian Pertanian, Ombudsman RI berencana untuk meningkatkan status pengawasan pelayanan publik dari pemantauan terhadap investigasi dalam rangka pemenuhan aspek pelayanan publik,” ujarnya.
Diketahui, pada awalnya Kementan bertugas menangani wabah PMK. Tapi pada 24 Juni 2022 pemerintah menerbitkan Keputusan KCP PEN No. 22 Tahun 2022 untuk membentuk Satgas PMK dan komanda berada di bawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).