Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Kapal Was-was Efek Perang Rusia-Ukraina

Perang Rusia vs Ukraina yang telah berlangsung sejak akhir Februari 2022 dikhawatirkan mendorong semakin mahalnya ongkos pengapalan atau freight.
Ilustrasi kapal kontainer/ Bloomberg
Ilustrasi kapal kontainer/ Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA -- Pengusaha pelayaran mengkhawatirkan adanya efek berkepanjangan akibat perang Rusia vs Ukraina, kendati tercatat meraup untung dari kondisi ongkos pengapalan mahal setidaknya sampai pada paruh awal 2022.

Perang Rusia vs Ukraina yang telah berlangsung sejak akhir Februari 2022 dikhawatirkan mendorong semakin mahalnya ongkos pengapalan atau freight, setelah kini bertahap menurun.

Berdasarkan data Baltic Exchange, indeks ongkos angkutan laut (main sea freight) turun 0,3 persen menjadi 2.067 poin pada Jumat kemarin. Sebelumnya, indeks freight sempat naik hingga 1,5 persen pada sesi sebelumnya.

Invasi Rusia terhadap Ukraina dikhawatirkan oleh berbagai kalangan karena semakin merumitkan kondisi yang sudah ada sejak dua tahun lalu, yakni kemacetan pelabuhan dan blank sailing (kapal tidak berlayar). Kedua kondisi tersebut turut disebabkan oleh pandemi Covid-19, sehingga ongkos pengapalan melambung tinggi sejak paruh kedua 2020.

Di sisi lain, terdapat faktor kondisi global yang berkaitan seperti naiknya harga minyak. Pada akhir perdagangan pekan ini, Jumat (8/7/2022), harga minyak global naik sekitar 2 persen dalam pekan yang fluktuatif.

Harga minyak Brent kontrak September 2022 naik US$2,37 atau 2,3 persen menjadi US$107,02 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) kontrak Agustus 2022 bertambah US$2,06 atau 2,0 persen menjadi US$104,79 per barel.

Harga minyak melonjak selama paruh pertama 2022. Brent mendekati rekor tertinggi US$147 setelah Rusia meluncurkan invasi ke Ukraina pada Februari 2022 sehingga menambah kekhawatiran pasokan.

Berdasarkan laporan Review of Maritime Transport oleh United Nations Conference on Trade and Development (2021), kenaikan freight rate akibat kondisi global bisa mendorong kenaikan harga impor dan harga konsumen lebih tinggi.

Apabila kondisi tersebut bertahan lebih lama lagi, maka diprediksi harga konsumen global pada 2023 bisa meningkat 1,5 persen lebih tinggi dari level ketika tidak ada kenaikan ongkos pengapalan.

Dampak tersebut diprediksi akan lebih menyakitkan bagi negara yang sangat bergantung kepada barang impor untuk sebagian besar konsumsi mereka.

Awalnya, kondisi kemacetan pelabuhan dan blank sailing dinilai dapat diselesaikan dengan kenaikan order kapal baru, agar kapasitas angkut kapal kontainer dan kontainer kosong dunia bisa bertambah. Kendati demikian, perang Rusia-Ukraina merubah prediksi tersebut untuk global termasuk Indonesia.

Ketua Umum DPP Indonesia National Shipowners' Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan periode freight tinggi akibat pandemi, blank sailing, dan kemacetan pelabuhan sebenarnya sudah terlewati.

Kendati ongkos pengapalan disebut sudah mulai menurun, dan ketersediaan kontainer tercukupi, Carmelita tidak menampik bahwa ada "musuh" baru yang harus diwaspadai yakni perang Rusia vs Ukraina.

"Yang diwaspadai adalah perang Ukraine Rusia yang berkepanjangan yang berakibat krisis energy global," terang Carmelita, akhir Juni lalu.

Pengamat maritim dari ITS Saut Gurning mengatakan perang Rusia-Ukraina, yang memperburuk kondisi sejak 2020-2021 lalu, menyebabkan kualitas suplai barang turun tajam. Konsekuensinya, kenaikan harga berbagai komoditas penting dan pokok dunia seperti energi dan pangan.

Saut mengatakan perang yang sudah terjadi sekitar empat bulan lebih itu menambah hambatan perdagangan global pada kawasan yang dijadikan sebagai barometer, yakni utamanya Eropa, Amerika Serikat (AS), dan Asia.

"Konsekuensinya menambah variabel ketidakpastian baru terlebih pada komoditas penting dunia seperti pangan, energi, bahan baku industri, elektronika, baja dan lainnya," terangnya.

Ketidakpastian dalam rantai pasok global itu, lanjut Saut, sudah merambat ke sisi hulu (kesulitan proses produksi dan bahan baku) dan juga di sisi hilir (ketersediaan barang). Sebelum adanya perang Rusia-Ukraina, ketidakpastian dominan berada pada arus tengah (midstream).

Oleh sebab itu, penanganan kolektif dibutuhkan dari semua entitas rantai suplai untuk mencari solusi bersama. Tidak hanya itu, seluruh regulator khususnya di Asia dan Asia Tenggara perlu bersama-sama mencari cara mengurangi beban perdagangan.

"Sepertinya perlu bersama-sama mencari cara mengurangi beban perdagangan lewat kompensasi biaya fiskal yang selama ini menjadi beban atau hambatan perdagangan," kata Saut.

Sebagai alternatif, banyak negara diprediksi akan mulai fokus untuk beralih orientasi ke perdagangan jarak pendek (near-shoring) untuk melakukan pengamanan jaringan perdagangan internal demi kepentingan domestik masing-masing.

Untuk Indonesia, Saut menilai pemerintah idealnya perlu fokus pada kelompok usaha kecil dan menengah yang semakin tergerus akibat disrupsi global saat ini.

Berbagai stimulan atau fasilitas perdagangan bisa diberikan seperti informasi ketersediaan kontainer kosong, konsolidasi kontainer kosong, fasilitas konsolidasi, informasi peluang pasar, penguarangan beban bea impor dan ekspor, serta proses perijinan perdagangan yang terus efisien dan sederhana.

Strategi Cuan Bisnis Kapal

PT Samudera Indonesia Tbk. (SMDR) menjadikan kondisi ongkos pengapalan atau freight tinggi sebagai peluang untuk meningkatkan pendapatan perusahaan. Emiten pelayaran itu menyediakan jasa peti kemas; tanker, bulk, dan offshore (lepas pantai) carrier; pengelolaan kapal; dan keagenan.

Direktur Utama SMDR Bani M. Mulia mengatakan telah menyiapkan sejumlah strategi untuk mengoptimalisasi keadaan yang ada. Misalnya, meneliti keadaan setiap layanan dan mengalihkan ke layanan yang paling berkontribusi positif.

Contohnya, saat harga batu bara tengah melambung tinggi pada Maret 2022 lalu, Bani menyebut kenaikan harga emas hitam mendorong kenaikan freight sehingga bakal menguntungkan perusahaan.

Sejalan dengan hal tersebut, SMDR mengerek target pendapatan 2022 menjadi US$1 miliar dari awalnya yakni US$700 juta. Bani mengatakan peningkatan target pendapatan ke US$1 miliar tidak terlepas dari kenaikan tarif pengapalan atau freight rate.

"Sebelumnya kami menargetkan pendapatan 2022 menembus level US$700 juta, namun saat ini kami mengubah target tersebut menjadi US$1 miliar," tuturnya.

Bagi PT Humpuss Intermoda Transportasi Tbk. (HITS), strategi yang dilakukan yakni dengan melakukan berbagai efisiensi di segala lini. Emiten pelayaran itu bergerak di sektor angkutan cair.

"Untuk bisa tetap exist kita harus betul-betul melakukan efisiensi di segala lini, agar biaya atau jasa yang kita tawarkan masih bisa dijangkau oleh customer," jelas Direktur Humpuss Intermoda Transportasi Dedi Hudayana.

Dedi juga meminta pemerintah untuk bisa mensiasati agar harga bahan bakar minyak atau BBM bisa turun pada level domestik.

Saat ini, Dedi menyebut belum memiliki rencana untuk menaikkan freight di tengah adanya konflik Rusia-Ukraina. Kendati ada kekhawatiran, dia menyebut saat ini perusahaan belum mengalami imbasnya.

"Kita karena [bergerak di] sektor angkutan cair seperti LNG, crude, metanol, dan semua itu dalam kondisi time charter. Jadi kita belum terasa imbasnya, dan kenaikan tarif kita masih stay belum ada kenaikan," terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper