Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan harga-harga bahan pokok memang kerap menimbulkan ketidaklaziman. Tengok saja apa yang dialami Ibu Susi, warga Desa Karawang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Akibat harga minyak goreng naik, terpaksa ibu rumah tangga itu membeli komoditas tersebut dalam bentuk saset yang berukuran sedikit lebih besar dari ukuran saset kopi instan. Volumenya 50 ml, harganya Rp2.000 per saset. Jadi, kalau dihitung-hitung, itu sama saja Bu Susi membeli minyak goreng seharga Rp40.000/liter.
Mahal? Terang saja. Tapi mau apa lagi? Bu Susi terpaksa membeli minyak goreng saset karena dia tidak mampu membeli minyak goreng kemasan 1 liter seperti sebelumnya. Ekonomi memang tengah sulit. Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mengumumkan bahwa inflasi makanan, minuman, dan tembakau mencapai 5,62 persen year-on-year (YoY) pada Mei 2022. Inflasi sub kelompok makanan tercatat menyumbangkan nilai inflasi tertinggi, yaitu sebesar 0,90 persen.
Memang, bukan hanya Indonesia yang mengalami peningkatan harga minyak goreng, Malaysia pun sama. Namun, ketika pemerintah Malaysia mengeluarkan aturan bahwa minyak goreng kemasan 5 kg tidak boleh dijual lebih dari 30 ringgit Malaysia, tim kajian Sigmaphi menemukan bahwa kebijakan tersebut dipatuhi oleh para pedagang. Mereka menjual harga minyak goreng seukuran itu maksimal 29,7 ringgit Malaysia.
Di sini boro-boro. Sudah begitu banyak effort yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi harga komoditas licin tersebut. Mulai dari tarik ulur kebijakan, pemberian subsidi lewat produsen, hingga akhirnya pemerintah merilis bantuan sosial untuk menopang daya beli warga terhadap harga komoditas ini. Tetap saja itu semua sia-sia.
Problematika harga pangan yang tidak sesuai ketetapan pemerintah terjadi karena fungsi aturan pengendalian harga yang belum jelas. Apakah kebijakan harga acuan dan harga eceran tertinggi (HET) hanya sebagai referensi yang tidak harus dipatuhi atau seperti apa?
Baca Juga
Karena aturan pengendalian harga bukan ditetapkan baru-baru ini saja, melainkan sudah sejak 2016 melalui Permendag No. 63/2016 Tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Sejak saat itu pula mayoritas harga pangan yang diatur di dalamnya berada di atas ketentuan tersebut hingga saat ini.
Akibat tidak adanya sanksi yang jelas itu, maka aturan pemerintah tak ubahnya macan ompong. Di pasaran harga terus melesat. Produsen mengakali tertekannya daya beli konsumen kelas bawah dengan cara itu tadi, melansir produk pangan dalam ukuran saset. Produk yang paling mudah dijumpai adalah minyak goreng dan gula pasir.
Kelihaian para pengusaha mengambil ceruk pasar akibat terpuruknya daya beli dianggap sebagai alternatif bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan finansial. Padahal, itu hanya ilusi. Yang terjadi, kemampuan masyarakat justru bakal kian terjerembap diterpa badai tingginya harga pangan. Bayangkan saja, di saat harga-harga kian mahal, orang-orang seperti Bu Susi justru dibuat tak mampu mengefisienkan pengeluarannya yang sudah kecil itu.
Data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal I/2022 tercatat sebesar 4,34 persen YoY. Angka tersebut memang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya untuk periode yang sama yaitu -2,23 persen. Akan tetapi masih jauh jika dibandingkan dengan tahun sebelum pandemi Covid-19 pada 2019 yaitu 5,02 persen dan 2018 di angka 5,17 persen.
Kondisi ini menjadi tantangan pemerintah dalam upaya mengembalikan pertumbuhan ekonomi di angka 5 persen, apalagi jika dihadapkan dengan tuntutan untuk menghapus masyarakat miskin ekstrem secara keseluruhan di tahun 2024 nanti.
Instruksi Presiden No. 4/2022 Tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem yang terbit pada 8 Juni lalu akan sulit tercapai tujuannya karena tingginya harga pangan ini. Sementara peningkatan pendapatan sulit diharapkan. Paling banter pendapatan hanya naik sekali dalam setahun ketika peningkatan harga bisa terjadi berkali-kali dalam periode yang sama.
Dana bantuan sosial yang diberikan pemerintah akhirnya tidak lagi mampu membeli bahan pangan dengan jumlah yang sama. Jadi, alih-alih terentaskan, jumlah penduduk miskin ekstrem justru bisa bertambah.
Untuk itu pemerintah harus memperjelas kekuatan hukum dari aturan stabilisasi harga baik dalam bentuk harga acuan maupun HET. Apakah cukup hanya sebagai referensi yang mengakibatkan harga tidak terkontrol seperti saat ini, atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan memberikan hukuman nyata kepada pihak-pihak yang melanggar? Masyarakat menunggu tindakan nyata pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang kian berlarut-larut. Tentunya Menteri Perdagangan yang baru dilantik pada 15 Juni ini harus menjawabnya.
Sebagai Menteri Perdagangan yang baru, Zulkifli Hasan diharapkan mampu mewujudkan kondisi harga pangan yang stabil dan terjangkau sesuai yang diamanatkan masyarakat. Mampukah dia mengemban tanggung jawab ini? Ya, kali aja.