Bisnis.com, JAKARTA – Akses internet menjadi modal penting dalam pengembangan ekonomi digital masyarakat. Sayangnya, riset Bank Dunia menunjukkan bahwa setengah populasi orang dewasa di Indonesia belum dapat mengakses internet.
Riset yang disusun oleh tim World Bank Poverty and Equity ini juga menyebutkan bahwa meski banyak digunakan, internet seluler belum cukup memadai dibandingkan internet kabel baik dalam kapasitas maupun kualitas layanan.
“Akses terbatas ke internet berkualitas tinggi seperti ini menghambat masyarakat dalam menggali kemampuan produktifnya untuk memetik manfaat ekonomi digital sepenuhnya,” tulis riset tersebut dikutip pada Senin (27/6/2022).
Ada beberapa faktor yang memengaruhi kondisi tersebut. Pertama, biaya berlangganan internet kabel di Indonesia masih belum cukup terjangkau. Berbeda dengan harga paket data internet seluler yang relatif terjangkau dibandingkan negara-negara tetangga.
Data International Telecommunication Union (ITU) pada 2019, contohnya, menempatkan Indonesia di peringkat ke-131 dari 200 negara dan wilayah yang diamati dalam hal keterjangkauan biaya berlangganan internet kabel.
“Hal ini menegaskan bahwa Indonesia adalah salah satu pasar internet kabel yang paling mahal. Hampir separuh rumah tangga Indonesia [44 persen] menyebut biaya tinggi sebagai alasan utama mereka tidak berlanggan layanan internet kabel.”
Baca Juga
Kedua, selain mahalnya biaya, tim Bank Dunia menyebutkan bahwa kualitas layanan internet di Indonesia termasuk yang terendah dibandingkan negara di Asia Tenggara (Asean).
Ookla Speedtest pada Februari 2022 mencatat kecepatan unduhan internet seluler di Indonesia menjadi paling lambat kedua (17,24 Mbps), di atas Kamboja (16,4 Mbps). Untuk kecepatan internet kabel, Indonesia paling lambat ketiga di Asean setelah Kamboja dan Myanmar.
Bank Dunia memaparkan bahwa mahalnya harga dan rendahnya kualitas konektivitas internet Indonesia disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, pemakaian bersama infrastruktur yang lazim digunakan dalam jaringan internet seluler, tetapi tidak umum di pasar jaringan kabel.
“Antara 70 persen hingga 80 persen dari biaya untuk internet kabel biasanya disebabkan oleh infrastruktur pasif, seperti pipa, tiang, hak jalan, dan pekerjaan sipil,” tulis riset tersebut.
Kedua, skema lisensi yang restriktif membuat penyedia layanan menawar untuk lisensi layanan khusus, ketimbang menyediakan lisensi tunggal untuk semua layanan. Kondisi ini membuat daya saing di pasar internet berkurang dengan membatasi masuknya pemain baru. Akibatnya, harga menjadi lebih tinggi untuk layanan berkualitas rendah sehingga menghambat adopsi internet.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Bank Dunia menyarankan agar Indonesia mempertimbangkan dua langkah kebijakan yang dirumuskan dalam laporan Beyond Unicorn Bank Dunia, Juli 2021.
Menurut riset ini, pemerintah Indonesia harus memperkuat persaingan di sepanjang rantai nilai broadband dengan menyederhanakan proses perizinan. Hal ini dibutuhkan agar mendorong masuknya pemain baru dan pengembangan produk yang lebih maju.
Selain itu, melalui kemitraan pemerintah-swasta dapat mempercepat investasi dalam konektivitas internet. “Misalnya, untuk penyebaran serat optik, penyedia layanan internet dapat bekerja sama dengan penyedia layanan publik untuk menggunakan tiang telekomunikasi dan saluran bawah tanah yang sudah tersedia.”