Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan melambat akibat melemahnya harga komoditas yang selama ini mendorong percepatan pemulihan sektor riil mulai tertahan.
Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan kondisi ini tercermin dari harga batu bara dan CPO yang terkoreksi cukup dalam satu bulan terakhir d pasar internasional.
“Tentu ini harus jadi early warning. Kemudian kenaikan kasus pandemi bisa mempengaruhi laju konsumsi domestik. Masyarakat kelas menengah atas yang kepercayaan berbelanjanya mulai pulih bisa kembali melakukan saving,” katanya kepada Bisnis, Minggu (26/6/2022).
Bhima menjelaskan transaksi berjalan cukup positif pada 2021, tetapi perlu diperhatikan bahwa transaksi berjalan mulai mencatatkan defisit pada kuartal I/2022 sebesar US$1,8 miliar.
Transaksi berjalan, kata dia, sejauh ini bisa ditutup dari surplus neraca perdagangan yang mengandalkan ekspor komoditas. Tetapi, jika terjadi koreksi pada harga komoditas internasional, tidak menutup kemungkinan Indonesia akan mengalami defisit transaksi berjalan.
Risiko perlambatan pertumbuhan ekonom domestik pun sejalan dengan risiko perlambatan ekonomi global, terutama disebabkan oleh berlanjutnya perang antara Rusia dan Ukraina, pengetatan moneter the Fed yang berpotensi mendorong risiko stagflasi, juga perlambatan ekonomi di China akibat implementasi kebijakan Zero Covid-19.
Baca Juga
Meski demikian, Bhma mengatakan kondisi eksternal Indonesia saat ini jauh lebih siap dalam menghadapi tekanan global, tercermin dari cadangan devisa yang berada di level US$135,6 miliar. Posisi cadangan devisa ini jauh lebih tinggi dibandingkan negara berkembang di kawasan, seperti Malaysia sebesar US$115,5 miliar dan Filipina sebesar US$107,3 miliar.
Tingkat inflasi pada Mei 2022 pun masih berada terkendali dalam sasaran target pemerintah, yaitu sebesar 3,55 persen secara tahunan.
“Tapi perlu dicermati inflasi harga produsen telah mencapai level 9 persen yang berarti produsen masih menahan kenaikan harga dan menunggu momentum. Inflasi yang rendah juga disumbang oleh ditahannya penyesuaian harga BBM jenis subsidi,” jelas Bhima.
Menurutnya, pemerintah tetap harus mewaspadai dampak gejolak ekonomi global terhadap pemulihan ekonomi di dalam negeri.
Dia mengatakan, dalam hal ini, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) perlu melakukan beberapa hal dalam jangka pendek. Pertama, melakukan stres test terhadap perbankan, asuransi dan lembaga keuangan lain terutama berkaitan dengan dampak resesi di Amerika Serikat, keluarnya modal asing, dan kenaikan suku bunga the Fed yang eksesif.
Kedua, segera menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin sebagai langkah pre-emptives dalam menghadapi tekanan inflasi pada semester ke II/2022.
Ketiga, memperbaiki jaring pengaman sistem keuangan terutama skenario bail in, serta menambah negara mitra local currency settlement (LCS) dan memberikan insentif lebih besar bagi pelaku usaha ekspor agar menukar devisa dolar dengan rupiah.
Keempat, meningkatkan serapan investor domestik dalam SBN untuk mencegah volatilitas akibat keluarnya investor asing di pasar obligasi.
Di samping itu, menurut Bhima, pemain utama harus berada di depan yakni, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Keuangan.
“Sinergi antar ketiganya penting. Hubungan fiskal-moneter harus kompak jangan ada ego sektoral yang hambat harmonisasi kebijakan,” tuturnya.