Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi beberapa mitra dagang terbesar seperti India dan China mengalami perlambatan di tengah krisis pangan dan energi.
Meski demikian, pengusaha kelapa sawit tidak khawatir karena negara importir crude palm oil (CPO), salah satunya India, masih sangat membutuhkan komoditas tersebut.
Terlebih lagi, Indonesia sempat memberlakukan larangan ekspor CPO dan turunannya sejak 28 April 2022 hingga 23 Mei 2022.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono melihat pangsa pasar untuk CPO tidak akan berkurang.
“India sampai saat ini masih membutuhkan minyak sawit dari Indonesia, karena minyak nabati merupakan kebutuhan pokok termasuk diantaranya minyak sawit, seharusnya kita tidak terlalu khawatir,” ujar Eddy, Rabu (15/6/2022).
Saat ini pun, Eddy menyampaikan masih belum dapat memenuhi permintaan dari mitra dagang akibat sempat terjadi restriksi ekspor CPO dan turunannya.
Bila ke depannya terjadi penurunan permintaan, Eddy yakin hal tersebut akan berlangsung sementara dan tidak akan bertahan lama.
“Kalaupun nanti terjadi penurunan, biasanya hanya sementara saja hal ini terjadi juga di awal pandemi Covid-19 dan pasti akan recover lagi,” ujar Eddy.
BPS pada hari ini, Rabu (15/6/2022), mencatat ekspor mencapai US$21,51 miliar dan impor sebesar US$18,61 miliar pada Mei 2022. Artinya, neraca perdagangan Indonesia Mei 2022 mengalami surplus sebesar US$2,9 miliar.
Surplus ini jauh lebih rendah dari surplus bulanan pada April 2022, sebesar US$7,56 miliar. Larangan ekspor menjadi salah satu alasan neraca perdagangan Indonesia mengalami perlambatan.
Sepanjang Mei 2022, Indonesia sama sekali tidak melakukan ekspor CPO ke negara tujuan utama, India. Sebelumnya pada April 2022 Indonesia ekspor kelapa sawit ke India sebesar US$$376,6 juta.
India sendiri mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada Mei 2022 sebesar 4,2 persen secara tahunan dengan inflasi sebesar 7 persen (yoy).