Bisnis.com, JAKARTA - Tarif listrik masih menjadi masalah bagi produsen di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Tanah Air.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serta dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Wirawasta mencatat beberapa poin yang saat ini dinilai tidak adil mengenai ongkos listrik di industri tekstil.
Pertama, tingginya tarif waktu beban puncak (WBP). Redma menyebut tarif WBP yang dikenakan terhadap industri tekstil saat ini 50 persen lebih tinggi dibandingkan dengan tarif normal.
"Untuk peak hour atau beban puncak. Ini naik 50 persen dari tarif normal," kata Redma, Senin (13/6/2022).
Kedua, tidak adanya pemotongan tarif atau diskon untuk pemakaian pada jam malam. Menurutnya, diskon diperlukan seiring dengan beralihnya penggunaan listrik di industri dari pembangkit baru bara ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)
Redma mengatakan peralihan tersebut dilakukan karena harga baru bara mengalami pelonjakan.
Baca Juga
Tingginya tarif listrik cukup disayangkan oleh pelaku industri tekstil Tanah Air. Sebab, kondisi industri tekstil dikatakan belum benar-benar pulih pasca terdampak pandemi Covid-19.
Bahkan, APSyFI sudah berani memperkirakan pertumbuhan industri TPT melambat pada kuartal II/2022. Diperkirakan, pertumbuhan industri TPT kuartal kedua tahun ini berada di bawah 10 persen.
Pada kuartal I/2022, industri TPT Tanah Air mencatatkan pertumbuhan sebesar 12,45 persen yang salah satunya terkerek karena meningkatnya permintaan pada momen lebaran.
Dengan demikian, ujarnya, seiring dengan terjadinya over suplai listrik pelaku industri pun mendesak pemerintah untuk meringankan beban biaya listrik industri tekstil.
"Kami minta dicabut tarif wbp jam malamnya. Sekarang kan listriknya sudah oversuplai, tapi industri masih dikenakan beban WBP," jelasnya.