Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah menyiapkan skema country platform untuk membayar biaya mitigasi perubahan iklim terkait dengan upaya mencapai net zero emission. Sesuai dengan target nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dana yang diperkirakan tembus Rp3.800 triliun.
Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto mengatakan bahwa langkah itu dilakukan untuk menutupi kemampuan pembiayaan pemerintah yang hanya mencapai 34 persen dari keseluruhan biaya yang dibutuhkan hingga 2060.
Nantinya, sambung Joko, pemerintah bakal menunjuk PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) sebagai operator untuk mengelola dana mitigasi perubahan iklim tersebut.
“Pemerintah sedang menyiapkan skema country platform untuk bicara mekanisme pendanaan dari transisi energi, jadi ketika bicara transisi energi, kita akan mencoba untuk menskalakan dalam konsep country platfrom,” kata Joko saat Webinar Bisnis Indonesia bertajuk 'Tantangan Sektor Kelistrikan Dalam Transisi Energi', di Jakarta, Kamis (9/6/2022).
Joko berharap platform itu dapat memfasilitasi adanya pendanaan campuran yang bersifat multilateral, bilateral, urunan hingga korporasi. Dengan demikian, gap kemampuan pembiayaan yang dimiliki pemerintah dapat ditutupi dengan skema pendanaan yang lebih agresif itu.
“SMI akan mengelola dua sisi yaitu mempensiunkan dini PLTU baik dari PLN dan proyek IPP, sementara di saat bersamaan SMI juga akan bicara pengembangan dari EBT,” tuturnya.
Baca Juga
Adapun, platform itu direncanakan dapat rampung sebelum gelaran Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 berlangsung pada akhir tahun ini.
Lebih lanjut, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN juga tengah mempercepat upaya peralihan energi bersih yang signifikan menjelang perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20. PLN menargetkan inisiatif awal untuk menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU dapat diimplementasikan sebelum 2030.
Direktur Perencanaan Korporat PT PLN Evy Haryadi mengatakan bahwa inisiatif itu ditargetkan rampung untuk mengatasi masalah kelebihan pasokan listrik atau over supply yang turut menjadi kendala perusahaan pelat merah itu untuk bermigrasi pada pembangkit yang ramah lingkungan.
Adapun, inisiatif pemangkasan energi berbasis batu bara sebesar 5,5 Gigawatt (GW) sebelum 2030 itu diproyeksikan membutuhkan dukungan dana mencapai US$6 miliar atau setara dengan Rp87,3 triliun.
“Kita harapkan inisiatif ini paling tidak bisa kita jadikan untuk ajang unjuk gigi di G20 nanti,” kata Evy dalam kegiatan yang sama.
Evy menuturkan, penghentian operasi PLTU berbasis batu bara itu diharapkan dapat mengakomodasi kondisi kelebihan pasokan listrik yang saat ini dihadapi perusahaan terkait dengan upaya peralihan energi baru dan terbarukan.
Dengan demikian, kata dia, upaya untuk pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT dapat segera diintensifkan menjelang 2030 ini.