Bisnis.com, JAKARTA — Kebutuhan dana untuk memenuhi target nol emisi karbon atau net zero emission pada 2060 dapat mencapai Rp28.223 triliun, tujuh kali lipat lebih tinggi dari kebutuhan dana untuk memenuhi target Nationally Determined Contributions atau NDC pada 2030. Sayangnya, Indonesia baru mampu memenuhi 34 persen kebutuhan dana setiap tahunnya.
Hal tersebut disampaikan oleh Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto, sebagai pembicara di webinar bertajuk Tantangan Sektor Kelistrikan dalam Transisi Energi. Acara itu diselenggarakan oleh Bisnis Indonesia pada Kamis (9/6/2022).
Joko menjelaskan bahwa pihaknya sedang menyelesaikan perhitungan untuk dokumen Climate Change Fiscal Framework, terkait kebutuhan dana untuk mencapai target net zero emission pada 2060. Berdasarkan kalkulasi BKF, kebutuhan dana itu mencapai Rp28.223,51 triliun.
"Kalau bicara total kebutuhan dari net zero emission 2060 or sooner, itu hampir tujuh kali lipat dibandingkan dengan NDC 2030," kata Joko pada Kamis (9/6/2022).
Sebelumnya, pemerintah telah menghitung kebutuhan biaya untuk menekan emisi karbon pada 2018 hingga 2030 sesuai dokumen Second Biennial Update Reports (2nd BUR) 2018. Hasil perhitungannya, Indonesia membutuhkan dana Rp3.461 triliun untuk menurunkan emisi karbon sesuai target.
Perhitungannya diperbaharui melalui dokumen NDC dengan masuknya aspek strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim 2050 (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050), untuk pencapaian net zero emission pada 2060 atau lebih awal. Kebutuhan dananya mencapai Rp3.779 triliun atau Rp343,6 triliun per tahunnya.
Baca Juga
Kebutuhan dana tersebut ternyata meningkat pesat berdasarkan perhitungan dalam dokumen Climate Change Fiscal Framework. Pemerintah memperhitungkan kebutuhan biaya untuk investasi di berbagai sisi, mulai dari hulu, antara, hingga hilir dari sejumlah sektor.
Sayangnya, menurut Joko, komitmen luar biasa untuk menekan emisi karbon tidak berarti mudah untuk menjalankannya. Dibutuhkan biaya yang sangat tinggi agar transisi energi dapat tercipta, dengan komponen kebutuhan terbesar ada di sektor energi dan transportasi.
"Kita bicara hasil climate budget tagging, ternyata kapasitas pendanaan pemerintah setiap tahun tidak lebih dari 34 persen. Artinya dari total kebutuhan 100 persen, pemerintah baru bisa mengakselerasi 34 persen, gap-nya hampir 66 persen. Ini yang harus kita tutup," ujar Joko.