Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengatakan rendahnya realisasi investasi pada sektor energi baru dan terbarukan (EBT) hingga kuartal kedua tahun ini disebabkan iklim investasi yang masih menyulitkan pelaku usaha untuk beralih pada pembangunan pembangkit listrik rendah karbon tersebut.
Malahan, AESI menyebut PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN cenderung mempersulit perizinan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang diinisiasi oleh swasta.
Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa mengatakan sebagian besar investor masih menunggu terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan (EBT) yang ditargetkan rampung pada tahun ini.
Menurut Fabby, pelaku usaha masih ragu untuk berekspansi pada sektor EBT lantaran payung hukum yang berlaku saat ini, Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.50/2017 dan Permen ESDM No.10/2017 membuat proyek pembangkit EBT tidak bankable.
Konsekuensinya, sebagian besar proyek yang sudah melewati tahap power purchase agreement atau PPA belakangan batal dibangun karena tidak dapat memenuhi kewajiban pembiayaan atau financial closing.
“Realisasi investasi masih rendah karena investor masih wait and see sembari menunggu aturan Perpres Harga EBT diundangkan untuk mengganti Permen ESDM No.50/2017 yang membuat proyek EBT tidak bankable,” kata Fabby melalui sambungan telepon, Senin (6/6/2022).
Baca Juga
Selain itu, Fabby menambahkan, lelang proyek PLN yang direncanakan berlangsung akhir tahun lalu malah molor hingga April 2022. Akibatnya, lelang proyek PLN itu belum mencatatkan realisasi investasi untuk sektor pengembangan EBT hingga pertengahan tahun ini.
“Proyek-proyek swasta juga belum optimal, khususnya PLTS karena sejak awal tahun ini PLN mempersulit perizinan PLTS dan sekarang dibatasi maksimal 15 persen,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan realisasi investasi sub sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi atau EBTKE baru mencapai US$0,58 miliar atau 14 persen dari target 2022 yang dipatok sebesar US$3,98 miliar.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan rendahnya realisasi investasi itu disebabkan karena molornya pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan (EBT) yang direncanakan rampung pada awal tahun ini.
Selain itu, Dadan menggarisbawahi, kebijakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap yang sempat terkendala turut memengaruhi capaian investasi yang relatif minim hingga pertengahan tahun ini.
“Dari target hampir US$4 miliar basisnya Perpres tentang tarif EBT bisa keluar di awal tahun juga kebijakan PLTS Atap bisa smooth berjalan,” kata Dadan saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Senin (6/6/2022).
Kendati demikian, Dadan optimistis, investasi pada subsektor EBTKE itu dapat mendekati target yang telah dipatok pada tahun ini. Alasannya, Perpres tentang tarif pembelian tenaga listrik EBT itu diharapkan rampung pada tahun ini. Dengan demikian, minat investor untuk berinvestasi pada sektor itu dapat terkerek dengan kemudahan dan insentif yang tertuang pada Perpres tersebut.
“Perjalannya sekarang, Perpres untuk tarif EBT sedang dalam proses taraf dari para menteri terkait. Realisasi investasi baru 14 persen atau US$0,58 miliar,” kata Dadan.
Adapun, berdasarkan data Kementerian ESDM per Mei 2022, tambahan kapasitas pembangkit listrik dari sektor EBT baru mencapai 66 megawatt (MW) atau 10 persen dari target yang ditetapkan mencapai 647,8 MW pada tahun ini. Sementara setoran lewat penerimaan negara bukan pajak atau PNBP dari sektor EBTKE mencapai Rp309 miliar atau 20 persen dari target Rp1,55 triliun.