Bisnis.com, JAKARTA-Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) berencana akan kembali menggelar demonstrasi dalam waktu dekat ini di depan Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag). Hal tersebut disebabkan kondisi harga buah tandan segar (TBS) tidak kunjung membaik. Padahal, keran ekspor sudah dibuka sejak 23 Mei lalu.
Ketua Apkasindo Gulat Manurung mengatakan berdasarkan laporan di 22 provinsi dan 146 kabupaten/kota harga TBS Petani sudah semakin anjlok. Rata-rata harga saat ini Rp1.900/kg untuk petani swadaya (non mitra) dan Rp2.240 untuk petani bermitra di harga pupuk yang naik hampir 300 persen. Padahal, menurut dia, harga TBS normalnya Rp4.300/kg dan saat ini pun harga sawit mentah di pasar internasional sudah menembus Rp23.000/kg.
“Ini terkait ekonomi rumah tangga petani, biaya hidup kami petani. Untuk itu kami DPP Apkasindo bersama 146 DPD Apkasindi dari 22 DPW provinsi sudah merencakan rapat gabungan di depan kantor Kemendag dalam waktu dekat,” ujar Gulat yang mengaku belum memutuskan tanggal aksinya saat dihubungi, Minggu (4/6/2022).
Sementara itu, Apkasindo pernah juga menggelar demo pada Selasa (17/5/2022) di depan Kantor Kemenko Perekonomian. Aksi yang digelar untuk menyikapi dampak larangan ekspor sawit. Petani sawit menilai larangan ekspor minyak goreng dan CPO berdampak langsung pada anjloknya harga TBS (tandan buah segar) kelapa sawit di seluruh Indonesia.
Gulat mengingatkan bahwa kebijakan Kemendag yang kembali memberlakukan peraturan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) sebelum pelarangan ekspor, tak juga membuat minyak goreng harganya terjangkau.
“Lihat saja dibulan Februari diberlakukan regulasi DMO dan DPO, lalu berselang beberapa hari diganti dengan regulasi MGS [minyak goreng sawit] curah disubsidi dari dana sawit BPDPKS [Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit] dengan konsukuensi saat itu dinaikkannya Pungutan Eksport [PE] dari US$175 per ton menjadi US$375,” ujar Gulat.
Baca Juga
Gulat menuturkan PE saat ini sudah 1/3 dari harga CPO itu sendiri, yang ujung-ujungnya beban tersebut ditimpakan ke harga TBS petani sawit. Belum lagi pajak Bea Keluar (BK) US$200/ton CPO, tentu secara total (PE dan BK) sudah mencapai setengah dari harga CPO itu sendiri, jika asumsi harga CPO Rp.16.000/kg.
“Ini menjadi sejarah dan hanya terjadi di industri sawit yang bebannya mencapai setengah dari harga barangnya,” tuturnya.
Dengan diberlakukannya DMO dan DPO usai dibukanya ekspor CPO pada 23 Mei, namun ekspor tak kunjung juga berjalan. Kemendag, kata Gulat, belum juga menerbitkan aturan berapa DMO yang harus dipenuhi dan berapa rupiah DPO-nya.
“Karena baik PE maupun DMO/DPO akan menjadi beban ganda dari TBS kami petani. Saya tidak mengerti dasar teori apa yang digunakan oleh Mendag. Kami Petani sawit sudah generasi kedua, sudah bisa menghitung dengan cermat,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Gulat mengatakan kunci agar minyak goreng sawit tercukupi adalah cukup memberlakukan DMO, tidak perlu DPO karena “keran harga” nya sudah diatur di pungutan eksport yang tinggi.
“bahwa kami tidak membela siapapun, tapi kami hanya memikirkan dampaknya kepada kami petani sawit dan kami punya keluarga yang harus dibiayai. Jadi jangan membuat opini bahwa pergerakan kami untuk orang atau kelompok lain,” tegas Gulat.
Sebelumnya, berdasarkan sosialisasi dari Kemendag terhadap pengusaha pada 31 Mei 2022, validasi untuk DMO dan DPO didasarkan data Simirah yang digunakan sebagai dasar rasio ekspor yaitu sebesar 1:3. Pengawasan Distribusi Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono yang juga mengikuti sosialisasi tersebut menyampaikan bahwa dengan kebijakan ini harga minyak goreng curah sudah pasti akan turun.
“Sudah pasti akan turun di tingkat produsen, sebab wajib DPO. Untuk sampai di konsumen harus ada pengawasan di distribusinya,” kata Eddy, Rabu (1/6/2022). Sementara itu, Eddy menyampaikan bahwa kondisi ekspor saat ini pun belum normal setelah kebijakan DMO DPO diberlakukan kembali. “Kondisi saat ini belum normal karena ekspor belum lancar, mudah-mudahan bulan Juni ini dengan adanya Persetujuan Ekspor (PE) 1 juta ton dapat berangsur-angsur kembali normal,” ujarnya.