Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal atau Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menyatakan bahwa kenaikan harga komoditas memang mendongkrak penerimaan pajak pada awal tahun, tetapi tidak semata-mata menjadi penerimaan utama. Penerimaan pajak dari sektor yang tidak terkait komoditas masih dominan.
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Ditjen Pajak Ihsan Priyawibawa tak menampik bahwa lonjakan harga komoditas membawa berkah luar biasa bagi perekonomian Indonesia, tak terkecuali bagi penerimaan pajak. Namun, menurutnya, komoditas bukan menjadi sumber penerimaan utama perpajakan saat ini.
Dia menyebut bahwa sektor-sektor yang langsung terpengaruh oleh pergerakan harga komoditas, seperti sawit, batu bara, tembaga, nikel, dan migas mencatatkan pertumbuhan penerimaan sangat tinggi, hingga 168,6 persen (year-on-year/yoy) pada periode Januari—April 2022. Hasilnya porsi sektor yang terpengaruh harga komoditas terhadap total penerimaan pajak turut meningkat.
Pada Januari—April 2021, sektor yang langsung terpengaruh harga komoditas berkontribusi 12 persen terhadap total penerimaan pajak. Sementara itu, pada Januari—April 2022 porsinya meningkat menjadi 21 persen dan sektor yang tidak terpengaruh langsung oleh harga komoditas menjadi 79 persen.
"Di luar komoditas [sektor yang tidak terpengaruh langsung oleh pergerakan harga komoditas] itu luar biasa juga, pertumbuhannya 38,5 persen, memang tidak sebesar komoditas. Sebenarnya [komposisi penerimaan pajak terbesar] berasal dari sektor-sektor yang tidak terkait langsung dengan harga komoditas," ujar Ihsan pada pekan lalu.
Menurutnya, penting bagi pemerintah dan petugas Ditjen Pajak untuk fokus kepada seluruh sektor, tidak hanya yang berkaitan dengan komoditas ketika harganya memang melambung tinggi. Dalam kondisi pemulihan ekonomi, seluruh sektor berpotensi kembali bangkit sehingga dapat memberikan pajak yang juga meningkat.
Baca Juga
"Jadi, penting untuk strategi kami ke depannya bahwa bukan hanya yang terkait langsung dengan komoditas yang harus menjadi perhatian," katanya.
Ihsan pun menyebut bahwa kinerja pertumbuhan penerimaan pajak yang tinggi pada Januari—April 2022 tak lepas dari basis penerimaan yang rendah pada periode yang sama tahun sebelumnya. Kala itu, Indonesia menghadapi tekanan dari penyebaran Covid-19 varian omicron sehingga aktivitas ekonomi masih terkendala.
Pada Januari—April 2021, penerimaan perpajakan tumbuh rata-rata negatif 0,5 persen (yoy), sementara pada empat bulan pertama tahun ini berbalik positif menjadi 51,5 persen.