Bisnis.com, JAKARTA — Menkeu Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/2024 yang memungkinkan bendahara negara memberikan pinjaman dari Saldo Anggaran Lebih alias SAL APBN.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 88/2024 tentang Tata Cara Pemberian Pinjaman yang Bersumber dari Dana Saldo Anggaran Lebih itu diundangkan pada pekan lalu, Jumat (29/11/2024) dan langsung berlaku pada hari yang sama.
Sri Mulyani menjelaskan dalam PMK 88/2024 bahwa Kemenkeu memberikan pinjaman dengan SAL karena menimbang untuk mendukung kebijakan pemerintah dan menjaga keberlanjutan fiskal.
"Bendahara Umum Negara [BUN] dapat mengoptimalkan dana SAL melalui penempatan dana SAL selain di Bank Indonesia berdasarkan amanat Undang-Undang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN] dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan [APBN P]," dikutip dari PMK 88/2024 pada Selasa (3/12/2024).
Pasal 5 PMK 88/2024 mengatur bahwa Kemenkeu dapat memberikan pinjaman dana SAL kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), pemerintah daerah (pemda), dan/atau badan hukum lainnya (BHL) yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang dan/atau dibentuk oleh pemerintah dengan tujuan tertentu.
Sri Mulyani mengatur bahwa jangka waktu pinjaman SAL itu paling lama adalah 90 hari kalender atau tiga bulan. Namun, pinjaman itu tidak boleh melewati akhir tahun anggaran terkait.
Baca Juga
Demi memperoleh pinjaman SAL, debitur seperti BUMN, BUMD, atau pemda harus memberikan jaminan berupa deposito dan/atau surat berharga negara (SBN). Terdapat ketentuan yang berbeda antara kedua instrumen untuk jaminan itu.
Apabila debitur hendak menjaminkan deposito, maka harus bernilai paling sedikit 102% dari nilai pinjaman SAL yang diajukan ditambah bunga/imbal hasilnya. Sedangkan SBN harus bernilai paling sedikit 120%.
Nilai jaminan itu akan dihitung secara proporsional atas nilai pinjaman likuiditas dana SAL ditambang bunga/imbal hasil.
Melalui pinjaman tersebut, Kemenkeu berpotensi mendapatkan hasil bunga yang lebih besar dibandingkan dengan jika menyimpan uang negara di Bank Indonesia (BI).
"Terhadap Pinjaman Likuiditas Dana SAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUN memperoleh bunga/imbal hasil dengan tingkat suku bunga/imbal hasil minimal sebesar tingkat remunerasi yang diperoleh BUN dari penempatan uang negara di Bank Indonesia," tertulis dalam Pasal 9 PMK 88/2024.
Cara Cari Penerimaan Baru
Penggunaan SAL sebagai sumber dana pinjaman pemerintah tercatat sebagai hal baru. Dalam PMK 147/2021 tentang Pengelolaan SAL atau aturan terakhir yang mengatur saldo anggaran lebih, tidak terdapat klausul penggunaan SAL untuk pinjaman.
Pasal 8 PMK 147/2021 mengatur bahwa SAL dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan kas temporer, pemenuhan pembiayaan anggaran, dan/atau stabilisasi.
Kemenkeu memang dapat mengembangkan dana SAL dengan menempatkannya di instrumen keuangan jangka pendek, sesuai ketentuan Pasal 13 PMK 147/2021. Penempatan itu mencakup pada instrumen:
- Penempatan uang,
- SBN,
- Reverse Repo, dan/atau
- Instrumen keuangan jangka pendek lainnya
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai bahwa munculnya ketentuan baru itu menjadi indikasi bahwa pemerintah sedang membutuhkan penerimaan baru dari bunga yang disetor BUMN, BUMD, dan pemda atas pinjaman SAL.
"Ini sebenarnya cara yang unik karena seolah dana memutar di internal pemerintahan, tetapi dikenakan bunga," ujar Bhima kepada Bisnis, Selasa (3/12/2024).
Bhima menggunakan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) sebagai asumsi tingkat suku bunga pinjaman SAL. Apabila seluruh SAL 2023 senilai Rp454,5 triliun disalurkan sebagai pinjaman, pemerintah bisa memperoleh bunga hingga Rp27,2 triliun, sekitar sepertiga dari total kebutuhan anggaran program makan bergizi gratis.
Menurutnya, ketentuan baru itu bisa menjadi cara pemerintah untuk mendorong penerimaan dari bunga pinjaman, sekaligus agar BUMN, BUMD, dan pemda menyerap lebih banyak SBN. Alasannya, debitur pinjaman SAL harus memiliki jaminan salah satunya SBN.
"[Ini] kaitan dengan melebarnya defisit APBN tahun 2025, disertai dengan debt services pembayaran utang jatuh tempo plus kewajiban bunga yang nyaris 50% dari total APBN, akhirnya timbul cara tidak wajar pinjaman SAL," ujar Bhima.