Bisnis.com, JAKARTA — Nilai pelaporan harta dalam program pengungkapan sukarela atau PPS tercatat telah mencapai Rp103,3 triliun dalam 147 hari pelaksanaannya. Jumlahnya terlampau jauh dari nilai pelaporan harta dalam program tax amnesty jilid 1 yang mencapai Rp4.854,63 triliun.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mencatat bahwa hingga Jumat (27/5/2022), terdapat 51.683 wajib pajak yang mendaftar program PPS. Dari mereka, harta yang diungkapkan tercatat mencapai Rp103,3 triliun atau rata-rata Rp1,99 miliar per wajib pajak.
Jumlah harta terungkap sementara itu masih lebih rendah dari hasil pelaksanaan program tax amnesty jilid 1 pada 2017. Total harta yang terungkap mencapai Rp4.854,63 triliun dari 956.793 wajib pajak, atau rata-rata sekitar Rp5 miliar dari setiap wajib pajak.
PPS memang masih akan berlangsung dalam 34 hari ke depan, yakni hingga 30 Juni 2022. Jika dihitung, rata-rata harta yang terungkap dalam program PPS berkisar Rp702,85 miliar setiap harinya.
Dengan asumsi perhitungan rata-rata tersebut, dalam sisa 34 hari bisa terdapat tambahan harta terungkap hingga Rp23,8 triliun sehingga hasil akhirnya menjadi sekitar Rp127 triliun. Jumlah tersebut, bahkan jika dinaikkan dua atau tiga kali lipat, tetap lebih kecil dari realisasi tax amnesty jilid pertama.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal berpandangan bahwa tax amnesty memang berbeda dari PPS, terutama dari sisi penawaran tarif. Menurutnya, hal tersebut menjadi faktor utama yang membuat terjadi perbedaan signifikan nilai harta terungkap dari kedua program.
Baca Juga
Program tax amnesty menawarkan tiga lapisan tarif bagi pesertanya berdasarkan waktu pendaftaran. Sementara itu, tarif pajak yang ditawarkan dalam PPS berlaku sama baik ketika hari pertama program dibuka, saat ini, maupun pada hari terakhir pelaksanaannya.
"Agak berbeda, kalau kita [PPS] kan sepanjang Januari hingga Juni tarifnya sama, kalau waktu tax amnesty ada tiga lapisan tarif. Lalu, dalam PPS ini juga ada kebijakan untuk wajib pajak yang sudah mengikuti tax amnesty," ujar Yon dalam Media Briefing Direktorat Jenderal Pajak, Jumat (27/5/2022) di Jakarta.
Menurutnya, kebijakan pertama dalam PPS memberikan kesempatan bagi peserta tax amnesty yang masih perlu memperbaiki kewajiban perpajakannya. Terdapat kemungkinan bahwa nilai pada perbaikan itu lebih kecil dari nilai harta yang dicatat saat tax amnesty.
Selain itu, dia menilai bahwa besar kemungkinan pula wajib pajak sudah memperbaiki kewajiban perpajakannya saat tax amnesty, sehingga tidak banyak yang perlu mengikuti PPS.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan banyak peserta yang mengikuti PPS menjelang tenggat waktu. Hal tersebut menurutnya lumrah terjadi, seperti dalam hal penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT).
Jelang tenggat waktu ini, Yon juga menuturkan bahwa Ditjen Pajak telah melakukan beberapa kegiatan untuk meningkatkan peserta PPS, salah satunya melalui sosialisasi berulang kali. Selain itu, sosialisasi dengan berbagai channel di televisi, radio dan media massa lainnya.
Kemudian, Ditjen Pajak juga melakukan himbauan kepada wajib pajak. Dari catatannya, Ditjen Pajak telah melakukan 1,6 juta himbauan sudah diterbitkan dari kantor pusat.
Ditjen Pajak juga melakukan kerja sama dengan perbankan, investasi, Kadin, Apindo.
"Selain itu, di KPP dan Kanwil juga secara masif melakukan sosialisasi di lingkungannya sendiri," paparnya.