Bisnis.com, JAKARTA - Terkait pentingnya kredit karbon sebagai langkah mitigasi global dalam mengurangi emisi sekaligus memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai komoditas, B20 Indonesia, dimana KADIN Indonesia berperan sebagai penyelenggara dari B20 tahun ini, menggandeng Bursa Berjangka Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX) untuk mengadakan diskusi virtual mengenai pasar karbon sukarela yang terorganisir, Rabu (25/05) siang. Diskusi ini diselenggarakan sebagai bagian dari side event B20 Indonesia yang menjadi fokus kerja Gugus Tugas Perdagangan dan Investasi (Trade and Investment Task Force).
Ketua B20 Indonesia Shinta W. Kamdani mengatakan, pasar atau perdagangan karbon dapat membuat mitigasi global lebih efisien dan terorganisir dalam mendukung upaya pemerintah mengurangi emisi karbon. Menurutnya, pasar karbon memungkinkan mitigasi perubahan iklim dengan biaya lebih murah dengan dampak yang lebih besar. Pasar karbon, lanjut Shinta, jika dikembangkan dengan baik akan memberikan dampak yang luar biasa dalam strategi mengatasi perubahan iklim, terutama terkait dengan pelibatan sektor-sektor ekonomi yang berhubungan dengan emisi karbon.
“Di Indonesia, saat ini, belum ada konsensus di antara para pemangku kepentingan tentang apa yang diperlukan untuk menggunakan pasar karbon sebagai strategi pengurangan emisi. Kita belajar dari best practises negara lain terkait pasar karbon ini. Jadi kita bersama-sama ini semua melakukan kolaborasi,” ujarnya.
Inisiatif yang dilakukan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia bersama kalangan sektor swasta adalah dengan meluncurkan Pasar Karbon Domestik Sukarela (Voluntary Domestic Carbon Market) yang mengadopsi carbon market sebagai instrumen utama mengurangi emisi CO2 yang masih menjadi tantangan global dalam mencapai target penurunan emisi dalam menanggulangi isu perubahan iklim.
Foto: dok. KADIN Indonesia
KADIN Indonesia juga merekomendasikan pembentukan satuan tugas publik-swasta untuk merancang dan menerapkan ekosistem carbon market di luar Voluntary Carbon Market sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK)—dan memfasilitasi pembentukan pasar karbon di Indonesia.
Chair dari B20 Trade and Investment Task Force Arif Rachmat mengatakan pasar karbon sukarela memiliki peran penting dalam dekarbonisasi global. Pasar ini memungkinkan perusahaan untuk mempercepat transisi yang lebih luas ke masa depan yang lebih rendah karbon.
“Secara global, karbon diklasifikasikan sebagai komoditas dan saat ini pasar karbon mengalami pertumbuhan yang signifikan, sehingga membutuhkan standar yang ketat dan transparansi yang lebih besar untuk membangun kepercayaan. Untuk itu, kami menggandeng ICDX untuk memberikan informasi yang jelas mengenai perkembangan pasar karbon ini dan pemanfaatannya secara lebih terorganisir,” ujar Arif.
Dalam diskusi ini, hadir secara virtual Alice Carr, Direktur Eksekutif Kebijakan Publik, GFANZ yang memberikan pandangan mengenai bagaimana pasar karbon sukarela ini dapat memberikan manfaat yang nyata dalam mengatasi perubahan iklim. Alice juga memberikan strategi agar pasar karbon meningkat sekaligus mendorong implementasi pada skala yang lebih besar agar dampaknya pada pengurangan emisi bisa terukur.
Dalam kesempatan yang sama, Special Advisor CDP, dan Member, Distinguished Advisory Board, Integrity Council for the Voluntary Carbon Market, Paula DiPerna menguraikan mengenai pelajaran penting yang bisa diambil dari Chicago Climate Exchange (CCX), pasar karbon sukarela pertama di dunia yang terletak di Amerika Serikat. Pasar ini mengikat secara hukum untuk pengurangan dan perdagangan gas rumah kaca untuk proyek sumber emisi dan offset di Amerika Utara dan Brazil.
Selain itu, Paula juga menerangkan bagaimana pasar karbon sukarela ini bisa membantu negara-negara yang ikut ambil bagian agar dapat mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) masing-masing sebagai komitmen setiap negara terhadap Persetujuan Paris. Paula juga menjelaskan bagaimana kredit karbon diperlakukan, apakah sebagai komoditas belaka atau sekaligus sekuritas.
Foto: dok. KADIN Indonesia
Terkait penjelasan karbon sebagai komoditas dan sekuritas, CEO ICDX Lamon Rutten memberikan informasi mengenai upaya pemerintah untuk mendukung pelaksanaan pasar karbon yang terorganisir dan keterkaitan antara NDC dengan pasar karbon sukarela serta peluang-peluang yang bisa diambil dan dimanfaatkan dalam perdagangan karbon tersebut, khususnya terkait nilai ekonominya dan mitigasi iklim.
Keterlibatan aktif sektor swasta merupakan faktor penting untuk mendukung komitmen pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim dalam mencapai agenda Net Zero Emission di tahun 2060. Terlebih lagi setelah Paris Agreement dan COP26 di Glasgow 2021 lalu, urgensi kolaborasi pemerintah dan swasta untuk memitigasi dampak perubahan iklim menjadi sangat krusial.
Seperti diketahui, Indonesia telah menetapkan Nationally Determined Contribution (NDC) yakni pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 41% pada tahun 2030. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menetapkan aturan hukum melalui Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Beberapa hal yang diatur di dalamnya mencakup perdagangan antara dua pelaku usaha melalui skema cap and trade, pengimbangan emisi melalui skema carbon offset, pembayaran berbasis kinerja (result based payment), hingga pungutan atas karbon, yang diharapkan bisa mendukung pencapaian target pengurangan emisi GRK Indonesia dengan menggerakan lebih banyak pembiayaan dan investasi hijau.
Potensi ekonomi dari perdagangan karbon di Indonesia sendiri diperkirakan mencapai lebih dari Rp8.000 Triliun (US$565,9 miliar) dari kekayaan hutan, mangrove, serta gambut. Di sisi lain, setidaknya terdapat lima sektor penyumbang emisi karbon di Indonesia, yakni kehutanan dan lahan, pertanian, energi dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk, dan pemerintah tengah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk menanggulangi emisi karbon di berbagai sektor tersebut.
Selama ini, perdagangan karbon telah dilakukan sejumlah negara yakni Uni Eropa, Swiss, Selandia Baru, Kazakhstan, Korea Selatan, Australia, Kanada hingga China dan Meksiko. China sendiri sudah melakukan uji coba perdagangan karbon di tujuh provinsi sejak 2013.