Bisnis.com, JAKARTA — Sempitnya ruang gerak belanja akibat target normalisasi defisit tecermin di dalam perencanaan yang pada tahun depan jauh lebih rendah dibandingkan dengan outlook Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan pada tahun ini.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan, dengan berkaca pada kondisi dan dinamika ekonomi terkini pemerintah dihadapkan pada dua pilihan.
Pertama, menjaga defisit di bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2023 yang secara otomatis membatasi manuver fiskal dari sisi belanja negara.
Dalam skenario ini, defisit akan sesuai dengan angka sasaran. Namun, hal itu berisiko pada terbatasnya akselerasi ekonomi akibat anggaran belanja yang cekak.
Kedua, mengoptimalisasi belanja dengan berfokus pada perlindungan sosial serta subsidi energi dalam rangka menjaga ketahanan daya beli masyarakat akibat krisis pangan dan energi yang terjadi sejak awal tahun ini.
Bhima mengatakan, opsi kedua memang berisiko menimbulkan pembekakan defisit. Akan tetapi, ini merupakan pilihan terbaik yang bisa ditempuh untuk menjaga stabilitas pemulihan ekonomi pada tahun depan.
Baca Juga
“Sepertinya [defisit] berisiko tetap di atas 3 persen pada 2023. Kebutuhan perlindungan sosial tinggi, subsidi energi naik, juga bertepatan dengan tahun politik [persiapan pemilu] biasanya anggaran belanja meningkat,” jelasnya kepada Bisnis, Minggu (22/5).
Berdasarkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2023 yang menjadi cikal bakal APBN 2023, anggaran belanja senilai Rp2.795,9 triliun—Rp2.993,4 triliun.
Angka tersebut jaug lebih rendah dibandingkan dengan anggaran belanja dalam outlook APBN 2022 yang telah disepakati oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menjadi APBN Perubahan, yakni mencapai Rp3.106,4 triliun.
Bisnis menghitung, dengan asumsi belanja negara Rp2.795,9 triliun dan pertumbuhan ekonomi di level 5,3 persen—5,9 persen, rasio belanja terhadap PDB pada 2023 hanya 14,84 persen—14,74 persen. Sementara itu, jika asumsi belanja pada tahun depan senilai Rp2.993,4 triliun, maka rasio belanaj terhadap PDB di kisaran Rp15,89 persen—15,78 persen.
Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan rasio belanja terhadap PDB pada tahun ini yang mencapai Rp17,49 persen—17,35 persen. Rasio itu dihitung menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi pada 2022 sebesar 4,8 persen—5,5 persen.
Untuk itu, Bhima mengkritisi pemerintah yang seharusnya tidak melakukan pemangkasan. Pasalnya, seluruh pos belanja memiliki efek berganda pada ekonomi.
Belanja pengadaan barang dan jasa misalnya, dapat mendorong serapan tenaga kerja dan pendapatan dunia usaha sejalan dengan menggeliatnya proyek pemerintah. Pun dengan belanja perlindungan sosial yang menjaga daya beli 40 persen masyarakat kelas bawah.
Sementara itu, belanja subsidi energi berfungsi menjaga administered prices tetap terkendali meski harga minyak makin tinggi.
“Belanja pemerintah punya peran penting dalam mempercepat pemulihan ekonomi. Respons anggaran pemerintah masih perlu secara sektoral,” ujarnya.