Bisnis.com, JAKARTA - Harga gabah di dalam negeri terus mengalami penurunan yang berimbas terhadap produktivitas petani.
Melandainya harga gabah berbanding lurus dengan kesejahterahan petani, diikuti dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yang tidak kunjung dinaikkan sejak 2020.
Mengutip Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 24/2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah, gabah kering panen (GKP) di tingkat petani dipatok senilai Rp4.200/kg dan di tingkat penggilingan seharga Rp4.250/kg.
Sementara itu, gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan ditentukan senilai Rp5.250/kg. Besaran-besaran tersebut dinilai jauh dari standar penghasilan hidup layak produsen padi.
Selain ulasan tentang harga gabah dan kesejahteraan petani, Bisnisindonesia.id menyajikan sejumlah berita lainnya yang dikemas secara analitis dan mendalam.
Baca Juga
Berikut Top 5 News Bisnisindonesia.id, edisi Jumat (12/5/ 2022) yang kami pilihkan untuk Anda, para pembaca yang budiman. Selamat membaca.
1. Ada Bahaya Laten di Balik Adem Ayem Harga Beras
Menurut perhitungan Serikat Petani Indonesia (SPI), HPP GKP semestinya dinaikkan menjadi Rp4.500/kg dan GKG Rp5.500/kg.
Di sisi lain, menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS), tren kasus pembelian gabah di bawah HPP terus meningkat dari periode ke periode sepanjang 2022. Pada Januari, kasus tersebut naik 4,47 persen, Februari 12,57 persen, Maret 18,73 persen, dan April 33,60 persen.
Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi SPI Muhammad Qomarunnajmi mengatakan HPP yang berlaku sejak 2020 tidak sebanding dengan harga penjualan gabah saat ini.
2. Rehabilitasi Terumbu Karang Hidupkan Potensi Ekonomi Pesisir
Aset terumbu karang merupakan kekayaan perairan laut yang berpotensi menghidupkan perekonomian wilayah pesisir lewat inovasi pemanfaatan yang terkendali dan menyimbangkan ekologi lingkungan.
Namun di sisi lain, kerusakan terumbu karang di sejumlah perairan juga menuntut penanganan dan rehabilitasi berkelanjutan dari para pemangku kepentingan termasuk seluruh lapisan masyarakat sekitarnya.
3. Memantapkan Strategi Transisi Energi yang Masih 'Setengah Hati'
Krisis energi yang sempat terjadi di China dan Inggris menjadi pelajaran berharga bahwa keberlanjutan pasokan menjadi kunci transisi energi. Tingginya permintaan energi seiring dengan pemulihan ekonomi di Eropa yang tidak diikuti dengan ketersediaan pasokan yang memadai, membuat harga gas alam dan batu bara melonjak sehingga pasokan listrik menjadi terganggu.
Di China, krisis energi juga menyebabkan keterbatasan daya listrik sehingga pemadaman terjadi di sejumlah provinsi yang menyebabkan aktivitas masyarakatnya dan operasional bisnis terganggu.
India diketahui malah melonggarkan izin lingkungan untuk ekspansi tambang batu bara demi meningkatkan produksi di tengah kekurangan bahan bakar pembangkit yang telah memicu pemadaman listrik selama berjam-jam.
Foto udara kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah, NTB, Sabtu (5/3/2022)./Antara-Ahmad Subaidi
4. Beban Opex Industri Telco Indonesia Makin Boros, Ada Apa?
Beban biaya regulasi (regulatory charges) operator seluler di Indonesia terbilang masih cukup tinggi, bisa berkontribusi 20 hingga 25 persen dari total biaya operasional.
Tingginya beban biaya tersebut bisa berdampak bagi perkembangan industri telekomunikasi Tanah Air.
Regulatory charges atas industri telekomunikasi sangat beragam, baik jenis maupun tarif serta otoritas pemungutnya dan menimbulkan beban pungutan berganda vertikal dan horisontal.
5. Balada Bitcoin & 10 Koin Kripto Teratas Diselimuti Awan Mendung
Bitcoin dan kripto telah menjadi perdagangan risk-on/risk-off tahun ini. Penurunan terjadi setelah data menunjukkan harga konsumen AS naik lebih dari perkiraan pada April 2022, menunjukkan inflasi akan bertahan pada tingkat yang lebih tinggi. Data juga menunjukkan Federal Reserve akan tetap berada di jalur kenaikan suku bunga yang agresif.
Federal Reserve dan bank sentral lainnya menaikkan suku bunga untuk melawan lonjakan inflasi, alhasil menciptakan lingkungan yang tidak menguntungkan untuk aset berisiko.