Bisnis.com, JAKARTA — Kesuksesan PT Pertamina (Persero) melakukan transformasi model bisnis perseroan sebagai holding BUMN minyak dan gas bumi yang terintegrasi dari hulu hingga hilir makin menguatkan keinginan Menteri BUMN Erick Thohir untuk melakukan hal yang sama di tubuh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Kendati masih belum diketahui dengan jelas seperti apa struktur holding dan subholding yang akan dibentuk pada PLN, setidaknya Erick punya harapan bahwa restrukturisasi di tubuh perusahaan setrum pelat merah itu akan mereplikasi kesuksesan di Pertamina.
Dalam gambaran Erick, kelak akan terbentuk holding PLN yang khusus mengurusi masalah transmisi listrik dengan dua subholding-nya. Namun, adanya holding dan subholding di tubuh PLN dipastikan tidak akan mengubah pola kerja yang sudah diterapkan selama ini.
Ulasan tentang proyeksi arah transformasi bisnis PLN ke depannya dengan rencana pembentukan holding dan subholding menjadi salah satu pilihan Bisnisindonesia.id, selain beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik tersaji dari meja redaksi Bisnisindonesia.id.
Berikut intisari dari top 5 News Bisnisindonesia.id yang menjadi pilihan editor, Rabu (11/5/2022):
1. Bisnis Bank dalam Bayang-bayang Tekanan Kenaikan Suku Bunga
Ancaman kenaikan suku bunga acuan yang kian dekat tampaknya bakal segera menyudahi era suku bunga murah perbankan. Hal ini kemungkinan bakal menekan tingkat margin laba perbankan, terutama jika laju penyaluran kredit justru tertahan akibat kenaikan suku bunga.
Selama era suku bunga murah Bank Indonesia, kalangan pelaku industri perbankan cenderung gesit dalam menurunkan bunga simpanan, sedangkan bunga kredit justru turun relatif terbatas dan lambat. Hal ini terjadi lantaran pertumbuhan simpanan cukup tinggi, sedangkan permintaan kredit masih rendah.
Dengan demikian, bank memiliki posisi tawar yang lebih besar untuk menurunkan suku bunga simpanan. Sementara itu, tidak ada desakan untuk menurunkan bunga kredit, lantaran permintaan memang sedang lesu dan risiko sedang tinggi.
2. Membaca Arah Transformasi Bisnis PLN, Bakal Menyamai Pertamina?
Menteri BUMN Erick Thohir menegaskan rencana pembentukan holding dan subholding PLN tidak akan mengubah pola kerja yang sudah diterapkan perusahaan setrum pelat merah itu selama ini.
Dengan kata lain, PLN tetap akan fokus pada transmisi dan retail listrik yang didorong dengan digitalisasi sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi lebih baik.
Ke depannya, tidak tertutup kemungkinan kalau Kementerian BUMN juga akan menggandeng perusahaan swasta dalam pengembangan holding dan subholding PLN.
Pembentukan holding dan subholding PLN ini juga untuk mewujudkan target ekspor energi listrik hingga 300 megawatt (MW) melalui transmisi bawah laut 400 kilo volt (kV) ke kawasan Asia Tenggara.
Transformasi bisnis PLN diyakini akan membuat perseroan harus berubah dari sebelumnya organisasi yang lambat dan proses bisnis yang kompleks menjadi suatu organisasi yang lincah dan dinamis, sehingga mampu mengubah tantangan berupa transisi energi, disrupsi teknologi, krisis energi, dan energi baru terbarukan yang melimpah menjadi suatu kesempatan.
Berkaca dari transformasi yang sudah dilakukan Pertamina, holding BUMN migas itu kini memiliki enam subholding yang tidak saling ketergantungan sehingga tidak memberatkan keuangan perusahaan secara keseluruhan.
3. Pemerintah Ditantang Cegah Inflasi Lompati Perkiraan
Lonjakan inflasi yang terjadi pada April 2022 menjadi sinyal agar pemerintah bersiap melakukan antisipasi. Meski inflasi masih berada dalam rentang perkiraan, pemerintah perlu menggelar langkah-langkah komprehensif agar tak terjadi lonjakan.
Dengan begitu, inflasi hingga akhir tahun 2022 bisa dipastikan tidak melompati koridor yang dipasang pemerintah.
Seperti dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS), laju inflasi pada April 2022 tercatat sebesar 3,47 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Ini merupakan angka tertinggi kedua sejak Agustus 2019 yang mencapai 3,49 persen.
Pemerintah melalui Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Kacaribu menyampaikan pernyataan yang terkesan menentramkan. Menurut Febrio, inflasi yang terjadi masih dalam rentang yang diperkirakan pemerintah.
4. Adu Siasat Emiten INCO Hingga ANTM Berebut Kue Bisnis Nikel
Nikel dinilai menjadi salah satu komoditas yang tetap moncer dalam jangka panjang jika dibandingkan dengan komoditas lainnya yang menunjukan arah pergerakan fluktuatif. Hal ini sebagai imbas dari sanksi Rusia dalam konflik geopolitik dengan Ukraina.
Konflik geopolitik antar Rusia dan Ukraina diprediksi masih akan terus berlanjut hingga kuartal II/2022. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor yang paling berkontribusi dalam menggerakkan harga komoditas.
Rusia merupakan salah satu negara pengekspor hidrokarbon, pupuk dan logam, serta gandum dan jagung. Negara yang dipimpin Vladimir Putin itu terkendala dalam mengekspor komoditas karena adanya sanksi, masalah logistik, hingga keengganan mitra dagang untuk bekerja sama dengan Rusia.
Sementara itu, Ukraina sebagai salah satu produsen utama gandum dan jagung juga sulit dijangkau yang akhirnya menghambat distribusi pasokan komoditas dunia. Hal ini menyebabkan meningkatnya harga komoditas yang efeknya meluas.
5. Kembali Dibayangi PPKM, Mampukah Si Burung Besi Bertahan?
Pemerintah kembali memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) baik di Jawa Bali maupun di luar Jawa Bali hingga 23 Mei 2022.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 3, Level 2, dan Level 1 Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali.
Perpanjangan PPKM ini tetap diambil pemerintah meski situasi pandemi yang kian mengalami penurunan dan terkendali. Hal ini juga sebagai upaya untuk memantau pergerakan kasus dalam 1 hingga 2 minggu setelah libur Lebaran usai.
Meski jumlah penumpang pesawat domestik maupun internasional meningkat cukup dratis pada kuartal I tahun 2022 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun masih terdapat beberapa faktor yang akan menjadi penghambat pemulihan sektor penerbangan ke depannya.
Hambatan itu yakni daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya serta kenaikan harga avtur yang bisa menghambat tren pemulihan ke depan. Selain itu juga belum ada kepastian sampai kapan kondisi eksternal seperti ekonomi global dan ketegangan geopolitik akan berlangsung.