Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indef Yakin Indonesia Bebas Resesi, Tapi Awas Inflasi!

Indonesia diyakini tidak akan mengalami resesi. Namun, terdapat risiko yang besar dari kenaikan inflasi.
Logo Presidensi G20 Indonesia 2022 terpajang di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (21/1/2022). /Antara Foto-Sigid Kurniawan-aww. rn
Logo Presidensi G20 Indonesia 2022 terpajang di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (21/1/2022). /Antara Foto-Sigid Kurniawan-aww. rn

Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance atau Indef menilai bahwa Indonesia tidak akan mengalami resesi karena pemulihan dan pertumbuhan ekonomi terus berlanjut. Namun, terdapat risiko yang besar dari kenaikan inflasi.

Menurut Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, Indonesia dapat mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang stabil pada tahun ini dan tahun depan, di kisaran 5 persen. Indonesia akan terus mengalami pemulihan ekonomi, tetapi tidak terlalu cepat sehingga belum mencapai 6 persen.

Menurutnya, tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia adalah tingginya harga komoditas, yang diperkirakan masih terjadi hingga tahun depan. Indonesia memang berpotensi meraup tambahan penghasilan dari ekspor batu bara dan sawit, tetapi tingginya harga komoditas lain akan membebani perekonomian.

"Tantangan yang masih akan terjadi, harga komoditas masih akan tinggi sampai tahun depan, meskipun tidak sebesar sekarang tetapi masih akan tinggi. Forecast beberapa lembaga juga harga minyak tahun depan masih akan di atas US$90 per barel, itu perlu dicermati," ujar Tauhid kepada Bisnis, Kamis (28/4/2022) sore.

Dia menjelaskan bahwa risiko dari konflik Rusia dan Ukraina masih akan berlanjut hingga tahun depan, meskipun perang selesai pada tahun ini. Terganggunya pasokan energi dan komoditas dari kedua negara tersebut membuat rantai pasok terdisrupsi dan butuh waktu untuk pulih.

"Kalau salah satu menang pun konsolidasi politik dan ekonomi masih akan berlanjut sampai tahun depan. Risiko inflasi masih akan berlanjut dan berasal dari komoditas," ujarnya.

Tauhid pun menilai bahwa kondisi ekonomi Amerika Serikat akan meningkatkan risiko inflasi Indonesia. Di Negeri Paman Sam, inflasi yang sudah melesat hingga 8 persen akan membuat negara-negara lain turut menaikkan suku bunganya, termasuk Indonesia.

Saat ini, Bank Indonesia memang memutuskan untuk tetap wait and see, kondisi inflasi dalam negeri pun masih terkendali. Namun, menurutnya, kita semua tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada akhir tahun, sehingga Indonesia perlu tetap waspada.

"Nilai tukar kemarin menguat, mungkin kalau sekarang tendensinya melemah, dan kalau melemah kan artinya kan cenderung capital outflow terjadi. Mungkin kalau begini terus kemungkinan suku bunga akan naik tetapi tidak cepat," ujar Tauhid.

Menurutnya, Indonesia harus mampu menangani kondisi inflasi terlebih dahulu, sebagai syarat agar pertumbuhan ekonomi dapat terakselerasi. Pemerintah harus mampu memastikan harga-harga barang terjaga di tengah kondisi ekonomi yang tidak pasti.

"Harus memerangi inflasi yang disebabkan oleh cost push. Harga minyak goreng, kedelai, harus terjaga dan suplainya jangan sampai terbatas," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper