Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Larangan Ekspor Minyak Goreng Indonesia Goyang Perusahaan Global, Dari Nestle hingga Unilever

Nestle, Mondelez International dan Unilever adalah beberapa produsen makanan, minuman dan perawatan tubuh yang terkena dampak dari kebijakan larangan ekspor minyak sawit Indonesia.
Pekerja memanen kelapa sawit di Desa Rangkasbitung Timur, Lebak, Banten, Selasa (22/9/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas
Pekerja memanen kelapa sawit di Desa Rangkasbitung Timur, Lebak, Banten, Selasa (22/9/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Bisnis.com, JAKARTA - Langkah Pemerintah Indonesia untuk melarang ekspor minyak sawit akan mengancam naiknya biaya bagi perusahaan-perusahaan global dan meningkatkan kekhawatiran akan inflasi pangan.

Indonesia, salah satu eksportir terbesar dunia, akan menghentikan beberapa ekspor minyak goreng mulai 28 April setelah kelangkaan domestik yang menyebabkan protes atas biaya makanan yang tinggi.

Keputusan pemerintah Ini dinilai akan menekan pasokan minyak nabati yang sudah ketat, ditambah dampak invasi Rusia ke Ukraina yang membuat perdagangan minyak bunga matahari menjadi kacau.

Meski pemerintah akan mengecualikan beberapa produk, larangan ekspor masih berisiko memicu inflasi makanan lebih lanjut.

Pasalnya, biaya pangan dunia berada pada titik tertinggi sepanjang masa dan melonjak dengan kecepatan tercepat, sementara penggunaan minyak nabati di mana-mana, mulai dari permen hingga penggorengan dan bahan bakar. Artinya, kondisi ini dapat menjadi duri di sisi inflasi pangan global untuk waktu yang lama.

Langkah Indonesia, yang menyumbang sepertiga dari ekspor minyak nabati global, akan menambah gejolak yang dihadapi pasar negara berkembang dari Sri Lanka hingga Mesir dan Tunisia, bahkan negara-negara maju dapat melihat kenaikan harga yang tajam di pusat perbelanjaan.

Minyak sawit adalah salah satu bahan pokok yang paling serbaguna, digunakan dalam ribuan produk mulai dari makanan hingga barang-barang perawatan pribadi hingga biofuel.

Di sisi lain, perang di Ukraina mengguncang perdagangan sekitar 80 persen dari ekspor minyak bunga matahari global, mendorong permintaan untuk alternatif seperti minyak kelapa sawit dan kedelai dan mendorong harga ke rekor tertinggi.

Meski ekspor minyak sawit mentah masih diizinkan, biaya bagi produsen makanan kemasan akan meningkat, termasuk Nestle, Mondelez International dan Unilever. Unilever, pembuat es krim Ben & Jerry's, mayones Hellmann dan sabun Dove.

Mengutip Bloomberg, Selasa (26/4/2022), mereka manyatakan saat ini mereka memiliki persediaan yang cukup. Nestle menolak berkomentar, sementara Mondelez tidak bisa langsung berkomentar. Larangan tersebut dapat memaksa pemerintah untuk memilih antara menggunakan minyak goreng untuk makanan atau bahan bakar nabati.

India sebagai importir minyak sawit, kedelai, dan bunga matahari terbesar di dunia, diperkirakan akan menghadapi lonjakan inflasi lebih lanjut. Harga domestik minyak nabati di New Delhi udah melonjak antara 12-17 persen sejak perang di Ukraina meletus pada akhir Februari.

Langkah Indonesia akan menekan biaya dan margin beberapa perusahaan konsumen, kata perusahaan jasa keuangan Prabhudas Lilladher. Hindustan Unilever, Nestle India, dan ITC Ltd. akan terkena dampak langsung, dan dampaknya akan paling terasa pada biskuit, mie, kue, keripik kentang, dan makanan penutup beku.

“Jika larangan ini diterapkan secara serius, inflasi bisa sangat tinggi,” kata Atul Chaturvedi, president of the Solvent Extractors’ Association of India. Permintaan mungkin akan bergeser, tetapi ketersediaan minyak nabati lainnya juga terbatas.

Di samping itu, larangan ekspor Indonesia juga menambah tantangan bagi pemerintah China yang ingin menjaga inflasi tetap terkendali. Sementara inflasi konsumen tetap relatif terkendali, risiko meningkat karena melonjaknya harga komoditas dan gangguan rantai pasokan terkait Covid.

China merupakan importir besar minyak goreng Indonesia. China membeli 4,7 juta ton minyak sawit dari negara Asia Tenggara tahun lalu, menyumbang lebih dari 70 persen dari total impor. Namun, pembelian China telah merosot tahun ini karena harga yang lebih tinggi dan karena lockdown yang ketat merusak permintaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Maria Elena
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper