Bisnis.com, JAKARTA - Anggota-anggota G20 menilai, perang Rusia dan Ukraina telah menyebabkan proses pemulihan global terhambat, terutama terhadap pasokan makanan dan energi.
Akibatnya, negara-negara berpendapatan rendah mengalami tantangan yang berlipat di tengah usahanya bangkit dari pandemi Covid-19.
Hal tersebut disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjio dalam High Level Discussion: Strengthening Economic Recovery Amidst Heightened Uncertainty pada Jumat (22/4/2022).
Selain membahas mengenai dampak perang terhadap pemulihan ekonomi, Perry dalam kesempatan tersebut juga membagikan empat agenda dalam forum G20. Keempat agenda tersebut antara lain pemulihan ekonomi global, masalah kesehatan global, arsitektur finansial dan keberlanjutan finansial global.
"Anggota menggarisbawahi peran penting G20 sebagai forum utama kerja sama ekonomi internasional, untuk menghadapi tantangan ekonomi global yang beragam dan kompleks saat ini, termasuk implikasi perang Rusia melawan Ukraina," kata dia.
Sebagian besar anggota, kata dia, mendukung agenda G20 yang ada guna mengatasi dampak ekonomi akibat perang di Ukraina sembari tetap mempertahankan komitmen untuk memimpin dunia kembali ke pertumbuhan yang kuat, seimbang dan inklusif.
Perry juga menyampaikan ada kekhawatiran terhadap tekanan inflasi, yang pada akhirnya menyebabkan berbagai Bank Sentral di dunia mengubah kebijakan dan pengetatan global lebih cepat dari yang diharapkan.
Oleh karena itu, negara-negara anggota sepakat untuk melakukan exit strategy yang terkalibrasi, direncanakan, dan dikomunikasikan dengan baik untuk mendukung pemulihan dan mitigasi terhadap potensi limpahan atau spillover sejak Februari lalu.
Kemudian, dalam hal masalah kesehatan global, negara-negara anggota sepakat untuk tetap menjadikan pengendalian pandemi sebagai prioritas.
Perry mengatakan, ada kesepakatan bahwa negara-negara anggota akan membantu menangani kesenjangan pembiayaan yang signifikan.
Selain itu, Perry menambahkan, dalam rangka penanganan perubahan iklim, negara-negara menyambut baik dan mendorong lebih lanjut komitmen pendanaan US$100 miliar dari negara-negara maju secara sukarela, bagi negara-negara yang membutuhkan.