Bisnis.com, JAKARTA - Jelang momentum Lebaran, optimisme pelaku usaha tekstil justru menurun karena sejumlah faktor.
Ketua Umum Asosiasi Serat, Benang, dan Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan barang-barang impor ilegal terpantau ikut menikmati legitnya pasar Lebaran di Tanah Air, khususnya yang masuk melalui marketplace.
Dicurigai barang-barang tersebut ilegal karena harganya jauh lebih murah dan tidak ada label Standar Nasional Indonesia (SNI). Adapun, untuk pengendalian impor, pemerintah telah menerbitkan sejumlah peraturan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atau safeguard.
"Kemarin kami sangat optimistis, tetapi begitu lihat masih ada barang-barang [impor ilegal] masuk seperti itu, kami agak khawatir. Mudah-mudahan saja [produk domestik] bisa di-absorb full oleh market," katanya kepada Bisnis, Kamis (21/4/2022).
Dia memproyeksikan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dapat mencapai pertumbuhan di atas 3 persen pada semester I/2022. Adapun pada kuartal I/2022, angka pertumbuhan seharusnya dapat mencapai di atas 5 persen, jika impor ilegal dapat dikendalikan.
Redma melanjutkan lonjakan penjualan pada momentum Lebaran akan ditentukan dalam dua minggu ke depan. Sejak awal tahun ini, lanjutnya, produsen bahan baku di hulu sudah memproduksi dengan jumlah melimpah, yang kemudian diserap oleh produsen tekstil dan industri kecil menengah (IKM) garmen.
Baca Juga
"Kalau ritelnya bisa absorb, saya kira pertumbuhannya bisa sekitar 5 persen [di kuartal I/2022]," ujarnya.
Selain masuknya barang-barang impor ilegal, yang juga menggerus optimisme pengusaha yakni libur Lebaran yang dinilainya terlampau panjang sehingga akan berdampak pada produktivitas pabrikan.
Redma mengatakan, dengan libur panjang selama 10 hari dan tutupnya operasional sektor-sektor esensial, maka kinerja ekspor dipastikan juga akan terganggu.
"Terus produksi kami juga pasti berkurang. Jadi itu yang membuat kami di kuartal dua ini agak pesimistis," ujarnya.