Bisnis.com, Jakarta – Center of Economic and Law Studies (Celios) melihat keputusan Presiden RI Joko Widodo melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng perlu dihentikan.
Menurut Direktur Celios Bhima Yudhistira Adhinegara, kebijakan tersebut sama halnya mengulang kesalahan yang sama seperti pada kasus batu bara pada Januari 2022. Masalah tersebut tidak selesai. Pengawasan menjadi hal terpenting dalam distribusi minyak goreng.
Bhima menyampaikan bahwa kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) 20 persen sudah cukup untuk menjaga kebutuhan dalam negeri.
“Yang seharusnya dilakukan cukup kembalikan kebijakan DMO crude palm oil (CPO) 20 persen. Selain DMO, pemerintah juga harus menggunakan HET di minyak goreng kemasan,dan pengawasan yang benar, jangan pake suap,” ungkap Bhima, Jumat (22/4/2022).
Lebih lanjut, Bhima melihat kemungkinan Indonesia akan kehilangan devisa sekitar US$3 miliar jika pelarangan ingin benar dilakukan sepenuhnya. Mengingat bahan baku minyak goreng yang tidak hanya CPO, pelarangan ini dinilai tidak bijak karena akan berdampak pada industri selain minyak goreng yang juga membutuhkan CPO.
Satu hal yang pasti jelas, adanya larangan ini akan otomatis menaikkan harga internasional secara signifikan. Bila melihat harga CPO di Bursa Malaysia Derivatives (BMD) per 21 April 2022, harga CPO mencapai MYR6.808 per ton. Angka ini diprediksi Bhima akan naik bila larangan ekspor berjalan.
Baca Juga
Bhima khawatir negara lain akan melakukan balas dendam atau retaliasi terhadap pelarangan ini. Tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan terjadi.
“Khawatir ada retaliasi dan protes dari negara negara lain juga. Ini tidak selesai masalahnya. Harusnya dengan DMO 20 persen itu cukup, yang bolong ini kan pengawasannya, jangan memukul rata semua bahan baku minyak goreng dilarang, hal ini akan membuat rugi besar terhadap perekonomian Indonesia,” ujar Bhima.