Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terkait BPA, Indef: Jangan Ada Diskriminasi Label Galon Air

Pemerintah diminta mengedepankan unsur keadilan dan jangan ada diskriminasi dalam pelabelan air minum dalam kemasan (AMDK) atau galon air minum.
Bisnis depo air atau air isi ulang masih menggiurkan di tengah pandemi virus corona (Covid-19)./istimewa
Bisnis depo air atau air isi ulang masih menggiurkan di tengah pandemi virus corona (Covid-19)./istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menegaskan agar jangan ada diskriminasi usaha air minum dalam kemasan (AMDK) khususnya terkait senyawa bisfenol A (BPA).

Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus menyampaikan pemerintah mengedepankan unsur keadilan dan jangan ada diskriminasi.

“Dalam usaha harus mengedepankan unsur fair, tidak ada unsur diskriminasi. Semua pelaku usaha, produk, harus diberikan kesempatan yang sama untuk bersaing,” ujar Heri, Kamis (24/4/2022).

Sebelumnya, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) mengindikasikan adanya diskriminasi dan potensi persaingan usaha tidak sehat dalam revisi Peraturan BPOM No. 31/2018 tentang Label Pangan Olahan.

Persoalannya, pada rencana revisi tersebut hanya fokus pada pelabelan BPA terhadap kemasan galon guna ulang yang berbahan polikarbonat, tidak untuk yang lain. Polikarbonat merupakan salah satu bahan dalam pembuatan AMDK galon guna ulang. Sementara biasanya pada AMDK kemasan sekali pakai menggunakan bahan dasar senyawa polietilena tereftalat (PET).

Melansir dari Healthline, PET dikategorikan aman tetapi berbahaya pada suhu tinggi yang dapat melarutkan logam yang disebut antimon.

Sementara polikarbonat lebih tahan panas, tetapi mengandung BPA. Dalam Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, nilai rujukan senyawa BPA yang digunakan untuk kemasan yang bersentuhan dengan pangan yaitu maksimal 0,6 bpj (bagian per juta) atau 600 mikrogram per kilogram.

Heri mengingatkan KPPU untuk menelusuri indikasi tersebut karena dia meyakini BPOM memiliki alasan dalam melakukan revisi tersebut.

“KPPU harus meneliti lebih dalam lagi terkait revisi peraturan BPOM No. 31/2018. BPOM pasti punya alasan. Usaha tidak boleh dihambat karena satu regulasi, kecuali kalau produk itu tidak menaati aturan dalam kata lain tidak sesuai standar,” lanjut Heri.

Dia menjelaskan aturan yang dibuat BPOM dalam rangka meningkatkan standar mutu pangan. Dalam hal lain, dalam menaikkan standar pun industri harus menaikkan biaya produksi

“Misalnya produsen itu harus meningkatkan standar teknisnya itu harus ada biaya tambahan, belum lagi kalau ada sertifikasi. Di satu sisi itu bagus, mengedepankan kesehatan konsumen, di sisi lain, pemerintah juga perlu memperhatikan hal yang terkait iklim usaha,” tutup Heri. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper