Bisnis.com, JAKARTA — Studi Australian National University (ANU) memproyeksikan impor batu bara termal China yang sebagian besar berasal dari Indonesia dan Australia bakal turun drastis dari 185 juta ton pada 2019 menjadi 95 juta ton sampai 130 juta ton pada 2025. Impor batu bara berkalori tinggi (kokas) yang sebagian besar berasal dari Australia juga diperkirakan menurun dari 34 juta ton pada 2019 menjadi sekitar 25 juta ton pada 2025.
Dosen Senior Australian National University Jorrit Gosens menuturkan hasil studinya menunjukkan investasi China dalam pembangunan infrastruktur transportasi batu bara kemungkinan akan menghasilkan pengurangan impor batu bara dalam beberapa tahun ke depan.
“China telah berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur transportasi batu bara selama bertahun-tahun, untuk mengurangi ketergantungan pada energi asing. Gejolak yang terbaru di pasar energi global justru hanya akan memperkuat tekad China untuk mengurangi ketergantungannya pada impor batu bara,” kata Gosens melalui siaran pers, Kamis (21/4/2022).
Impor batu bara China yang melalui jalur darat, seperti dari Rusia diperkirakan akan tetap relatif stabil, sementara impor dari Mongolia akan tumbuh kuat, karena perluasan koneksi kereta api China ke Mongolia dan perluasan tambang Mongolia. Impor batu bara kokas dari Mongolia diperkirakan akan melonjak menjadi sekitar 20 juta pada tahun 2025.
Pada Maret 2022, pemerintah pusat China mengumumkan untuk meningkatkan produksi batu bara domestik menjadi 12 juta ton per hari, sehingga memungkinkan produksi tahunan bisa mencapai 4,38 miliar ton. Rencana Lima Tahun Energi ke-14 China juga menginstruksikan untuk meningkatkan infrastruktur transportasi terkait batu bara.
“Tren ini menimbulkan dampak besar pada volatilitas perdagangan batu bara global, terutama apabila dikaitkan dengan pengurangan impor batu bara dari Rusia oleh Uni Eropa. China adalah importir batu bara terbesar di dunia, diikuti oleh India dan Jepang,” kata dia.
Baca Juga
Menurut data Bloomberg, China mengimpor hampir 324 juta ton batu bara termal, lebih dari 50 persen impor batu bara global sepanjang 2021. Indonesia dan Rusia masing-masing menyumbang 62 persen dan 17 persen dari impor batu bara China pada periode itu.
Seperti yang disoroti dalam studi ANU itu, penurunan permintaan batu bara lintas laut dari China memiliki konsekuensi bagi eksportir untuk mencari pasar lain. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya persaingan antara negara-negara pengekspor utama lainnya seperti Afrika Selatan, Amerika Serikat dan Kolombia.
Selain itu, Analis Energy Finance, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Simon Nicholas mengatakan mengatakan setiap pengurangan yang signifikan terhadap impor batu bara oleh China akan memiliki konsekuensi besar di seluruh perdagangan batu bara lintas laut global.
Menurut Simon, pengurangan impor batu bara oleh China akan membuat Indonesia bersaing lebih kuat dengan eksportir seperti Australia dan Afrika Selatan di pasar lain.
“Prospek penurunan jangka panjang untuk batu bara melalui lintas laut tak terelakkan. Potensi pertumbuhan pasar untuk batu bara seperti Bangladesh, Pakistan dan Vietnam tampaknya jauh lebih kecil daripada yang diharapkan oleh eksportir batu bara,” kata Simon.