Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Abdul Munir Sara

Tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi X

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Menuju Ekspansi Ekonomi

Realisasi APBD, adalah faktor penting dalam menyokong perekonomian dengan paradigma pembangunan ekonomi yang bottom up.
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo

Bisnis.com, JAKARTA - Pada 29 Maret 2022, koran Bisnis Indonesia mengulas Surat Utang Negara (SUN) RI yang memperlihatkan sepi peminat. Beberapa waktu lalu, Global Government Bonds, merilis Credit Default Swap (CDS) Indonesia melesat di kisaran 80—100. Makin besar CDS, persepsi terhadap risiko obligasi pemerintah Indonesia makin tinggi.

Bila CDS Indonesia terus melesat, maka minat investor terhadap SUN RI akan tertekan. CDS merupakan angka persepsi risiko berinvestasi di suatu negara. Makin kecil CDS, risiko berinvestasi negara tersebut dianggap rendah, demikian sebaliknya.

Pemerintah hanya mampu menerima Rp17,05 triliun dari serapan SUN, dari target indikatif Rp20 triliun per 29 Maret 2022. Bila kita lihat data bid to cover ratio alias rasio antara jumlah penawaran SUN yang masuk dengan jumlah penawaran yang dimenangkan, secara statistik, cenderung turun sejak Oktober 2021 (di posisi 7,48 persen) menjadi 3,05 persen pada maret 2022.

Dari sumber DJPPR-Kemenkeu tersebut, incoming bids atau penawaran masuk terhadap SUN Rp41,62 triliun. Makin rendah sejak 24 Februari 2022, sejak minat investor terhadap obligasi pemerintah menurun. Investor masih wait and see sembari melihat meredanya volatilitas pasar akibat krisis Rusia-Ukraina. Indikasi tersebut bisa dilihat dari ekspektasi terhadap yield yang tinggi dan meningkatnya pembayaran premi CDS.

Tekanan terhadap obligasi pemerintah itu, bersamaan dengan beberapa hal penting; semisal, recovery ekonomi seiring data kasus baru Covid-19 yang melandai.

Pertama, pemerintah tengah berada dalam fase normalisasi fiskal menuju disiplin fiskal (defisit APBN di bawah 3 persen terhadap PDB) sesuai UU. Diskresi APBN terkait batas defisit APBN terhadap PDB, akan berakhir di tahun 2022.

Dengan demikian, maka dukungan likuiditas dibutuhkan. Salah satu bantalan menutup lubang defisit APBN adalah melalui utang obligasi dan utang pinjaman luar negeri. Potensi koreksi terhadap realisasi utang obligasi akibat volatilitas pasar, bisa berdampak pada pembiayaan defisit APBN berjalan. Efek gandanya adalah, melebarnya defisit dan menyempitnya ruang fiskal.

Ekonomi akan terganjal menuju fase ekspansi. Sementara kita butuh sumber daya fiskal untuk mengakselerasi kinerja ekonomi, agar sesegera mungkin keluar dari “fase recovery ke ekspansi.”

Kedua, tekanan pun datang dari inflasi energi. Perlu dicatat, bahwa Indonesia adalah negara net importir Migas. Rantai supply domestik Migas Indonesia, ditopang oleh impor. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) dalam neraca pembayaran internasional Bank Indonesia, acap kali disumbang oleh impor Migas. Selain itu, melesatnya harga Migas, ikut memberatkan APBN.

Melesatnya harga minyak mentah acuan pasar (crude oil price) akan berdampak pada harga minyak mentah acuan Indonesia/ICP. Dalam asumsi APBN 2022, ICP US$63/barel. Sementara saat ini di pasar crude oil sudah melampaui US$100/barrel. Gap harga aktual antara minyak mentah dunia dan ICP, adalah faktor riil yang menggerus likuiditas pemerintah.

Berdasarkan simulasi pemerintah, apabila harga ICP menjadi US$100/barrel, maka diperkirakan terjadi defisit APBN dari sektor migas sebesar Rp77,21 triliun. Artinya, makin melesatnya harga minyak mentah dunia, beban subsidi BBM dalam APBN makin besar.

Tekanan terhadap APBN bisa berlangsung seiring krisis Rusia-Ukraina, karena dua negara yang bertikai ini berkontribusi sekitar 11 persen—12 persen rantai pasok Migas dunia. Sementara Arab Saudi masih keukeuh menahan peningkatan produksi; meski di bawah tekanan AS. Akibatnya, harga minyak mentah mengalami fluktuasi tinggi. Hal ini terjadi di tengah konsolidasi sektor industri yang sangat bergantung pada energi sebagai komponen input produksi paling major.

Ketiga, terganggunya rantai pasok global di sektor pangan, juga berpotensi menekan APBN dari sisi subsidi sektor pangan. Indikasinya sudah bisa dilihat dari mahalnya beberapa produk pangan seperti minyak goreng, kacang kedelai dan beberapa produk pangan lainnya yang sudah mulai terasa di masyarakat.

Mau tak mau bantalan subsidi APBN untuk sektor pangan makin besar untuk menopang masyarakat akar rumput. Sekaligus menopang konsumsi rumah tangga yang selama ini menyumbang di atas 50 persen terhadap PDB nasional.

KONSOLIDASI

Ketiga hal di atas menjadi tiga faktor yang akan mengoreksi ketangguhan APBN. Sebagaimana yang sering disampaikan Menkeu, bahwa “APBN kita masih sangat tangguh.” Tentu saja tetap tangguh, bila pemerintah tetap pada get on the right track.

Sampai akhir 2022, APBN kita masih ditopang oleh dukungan likuiditas dari bank sentral. Realisasi pajak yang melampaui target di tahun 2021, demikian juga benefit dari sisi windfall tax harga komoditas membuat tekanan terhadap defisit APBN lebih berkurang. Ekspor komoditas yang terus melesat, menyumbang surplus neraca perdagangan berturut-turut sepanjang 2021 dan awal 2022. Dengan demikian, pungutan windfall tax komoditas pun ikut menyokong penerimaan.

Ditambah lagi dengan tax amnesty (meski ada pro kontra) dan realisasi kenaikan PPN 11 persen yang memberikan energi fiskal lebih mumpuni. Migrasi sektor industri dari Rusia-Ukraina ke negara-negara yang lebih kondusif, juga memberikan ruang investasi di Indonesia dari sisi investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI), yang ikut mengungkit perekonomian dan penerimaan negara.

Pemerintah hanya mengedepankan prioritas APBN. Pembiayaan Ibu Kota Negara (IKN) yang masih dibebankan pada APBN dan kesannya masih ambigu dari sisi pembiayaan, semestinya digeser dan dititik beratkan pada investasi private sector (B to B) dan creative funding. APBN lebih fokus pada mendorong sektor output produktif, yang selama ini mampu mengakselerasi ekonomi di masa pandemi.

Disaat sama, hilirisasi industri terus digenjot dalam rangka meningkatkan nilai tambah ekonomi (value added) agar tidak terus bergantung pada ekspor komoditas mentah dengan nilai tambah yang rendah.

Kebijakan moneter longgar (dovish) saat ini, disertai dukungan likuiditas terhadap fiskal dari BI, penyerapannya benar-benar didasarkan pada sektor-sektor ekonomi yang sepanjang pandemi cukup tangguh dan menjadi prime mover penggerak kinerja PDB. Kebijakan suku bunga rendah, harus benar-benar terserap pada sektor ekonomi dimaksud melalui akselerasi kredit perbankan.

Percepatan realisasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) serta regulasi pendukung percepatan serapan APBD harus dibuat ekstra regulasi. Agar diketahui, dari APBN dialokasikan untuk TKDD. Oleh sebab itu, kinerja ekonomi nasional, sangat bergantung pada akselerasi serapan APBD.

Realisasi APBD, adalah faktor penting dalam menyokong perekonomian dengan paradigma pembangunan ekonomi yang bottom up. Inilah prioritas penting yang perlu dikedepankan, bukan berpikir melanjutkan kekuasaan tiga periode; dengan isu-isu politik amatiran yang menyebabkan kegaduhan dan huru hara politik!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper