Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah menerbitkan aturan baru terkait dengan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak di sektor batu bara seiring dengan berubahnya rezim kontrak menjadi izin.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan sebagai amanat Pasal 169A UU No. 3/2020 Tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), rezim kontrak yang berakhir dapat diperpanjang menjadi rezim izin, yaitu Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/ Perjanjian, dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
Dalam memenuhi upaya tersebut, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.15/ 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batubara yang ditetapkan pada 11 April 2022.
"PP ini menjadi tonggak penting sebagai landasan hukum konvergensi kontrak yang nantinya berakhir menjadi rezim perizinan dalam upaya peningkatan penerimaan negara," ujarnya dalam keterangan resminya, Jumat (15/4/2022).
Febrio menjelaskan terdapat dua bagian penting dari beleid tersebut yakni pada bagian pertama, aturan itu memberikan kejelasan mengenai bagaimana kewajiban pajak penghasilan bagi para pelaku pengusahaan pertambangan batubara dilaksanakan.
Berbagai pelaku tersebut adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), pemegang IUPK, pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, dan pemegang PKP2B.
Baca Juga
“Adanya kepastian hukum mengenai PPh yang lebih baik melalui PP ini diharapkan semakin memudahkan pelaku usaha di sektor ini dalam menunaikan kewajiban pajak," jelasnya.
Pada bagian kedua, pemerintah melakukan pengaturan kembali penerimaan pajak dan PNBP bagi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara dibandingkan sebelumnya sebagaimana amanat pasal 169A UU Minerba.
Hal tersebut dilakukan dengan cara mengatur besaran tarif PNBP produksi batu bara secara progresif mengikuti kisaran besaran harga batu bara acuan (HBA). Dengan demikian, pada saat HBA rendah, tarif PNBP produksi batubara yang diterapkan tidak terlalu membebani pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian. Sebaliknya, pada saat harga komoditas naik seperti saat ini, negara mendapatkan penerimaan negara dari PNBP produksi batubara yang semakin tinggi.
Sementara itu, untuk mendorong pemanfaatan produksi batu bara bagi industri di dalam negeri, Peraturan Pemerintah ini mengatur di antaranya tarif tunggal yang lebih rendah sebesar 14 persen bagi produksi batubara untuk penjualan dalam negeri.
“Implementasi peraturan ini diharapkan tetap mampu menjaga keseimbangan antara upaya peningkatan penerimaan negara dengan upaya tetap menjaga keberlanjutan pelaku usaha, sehingga akan menjadi fondasi terwujudnya keberlanjutan pendapatan untuk mendukung konsolidasi fiskal ke depan” ungkapnya.
Selanjutnya, pemerintah juga memberikan kepastian hukum bagi pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dan PNBP. Hal ini dilakukan dengan cara mengatur kewajiban perpajakan dan PNBP yang mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat izinnya diterbitkan (nailed down) dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (prevailing law).
Febrio menuturkan dalam beleid itu diperjelas bahwa kewajiban pajak dan PNBP yang mengikuti ketentuan nailed down adalah iuran tetap, PNBP produksi batu bara, PPh Badan, Pajak Bumi dan Bangunan, PNBP di bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dan PNBP berupa bagian Pemerintah Pusat sebesar 6 persen serta penerimaan daerah lainnya berupa bagian Pemerintah Daerah sebesar 4 persen dari keuntungan bersih.
Kewajiban pajak dan PNBP yang mengikuti prevailing law adalah PNBP lainnya selain yang sudah disebutkan di atas, pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Karbon, Bea Meterai, Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai dan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Selain memberi kepastian dan kesesuaian dengan rezim, PP ini diharapkan mampu menangkap momentum pertumbuhan positif sektor pertambangan batubara saat ini.
"Hal ini terutama karena sektor ini mampu tumbuh positif sebesar 6,6 persen pada 2021, lebih tinggi dari pertumbuhan PDB nasional. PP ini menjadi relevan dalam memanfaatkan momentum peningkatan kontribusi sektor pertambangan batubara terhadap perekonomian melalui APBN," ungkapnya.