Industri persusuan di dalam negeri terpuruk sejak kebijakan Keppres No. 2/1985 yang melindungi pengembangan peternak sapi perah rakyat dicabut oleh Inpres 4/1998. Kebijakan ini sebagai konsekuensi ditandatanganinya LoI (letter of intent) dengan Bank Dunia, pascakrisis ekonomi tahun 1997.
Mulai saat itu, peternakan sapi perah rakyat berada pada kondisi pasar bebas. Dampak yang terjadi, ternyata sebelum krisis ekonomi 1997 produksi susu segar dalam negeri (SSDN) mampu berkontribusi 50% terhadap permintaannya, yang diproduksi oleh 235 koperasi susu. Kini, kemampuan produksi SSDN tidak lebih dari 22,73% yang diproduksi oleh 55 koperasi susu.
Sisanya, sekitar 3.392.760 ton susu diimpor dengan nilai tidak kurang dari Rp17,5 triliun per tahun. Artinya, SSDN tidak memiliki daya saing sehingga devisa negara terkuras hanya untuk impor susu guna memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri.
Susu termasuk kelompok komoditas pangan pokok bagi kehidupan manusia. Sejak puluhan tahun lalu, tagline yang sangat terkenal mengenai fungsi susu dalam menu pangan adalah “empat sehat lima sempurna”. Hal ini dimaksudkan bahwa susu merupakan bagian penting dari makanan pokok masyarakat. Komoditas ini memiliki andil dalam membentuk manusia Indonesia yang cerdas, karena kandungan gizinya yang lengkap mampu menyempurnakan pembentukan sel otak manusia di masa pertumbuhan.
Menurut data BPS, bahwa partisipasi konsumsi susu dan telur berkisar (62,89%— 93,41%) tertinggi di antara pangan protein hewani lainnya (Soedjana, 2013). Tingginya tingkat partisipasi konsumsi ini menunjukan bahwa susu dikonsumsi luas oleh masyarakat segala umur baik di perdesaan maupun di perkotaan.
Menyadari betapa pentingnya komoditas susu bagi kehidupan masyarakat, dan terpuruknya industri ini pascakrisis ekonomi 1997, pemerintah telah melakukan berbagai upaya guna meningkatkan produksi dan produktivitas peternakan sapi perah. Namun, berbagai upaya pemerintah dalam beberapa puluh tahun terakhir belum membuahkan hasil yang signifikan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah terjadi penurunan jumlah peternak sapi perah dari 142.000 (2013) menjadi 136.000 (2018), sementara produksi SSDN tumbuh relatif rendah (3,83%per tahun) yang dihasilkan dari populasi sapi sekitar 570 ribuan ekor dengan produksi susu sekitar 950 ribuan ton/tahun. Namun, di sisi lain permintaannya meningkat tajam dari 4,3 juta ton (2016) menjadi 5,4 juta ton (2020), atau tumbuh cukup tinggi (6,43% per tahun).
Melihat fenomena yang terjadi selama ini, rasa-rasanya peta jalan yang disusun pemerintah untuk mencapai terwujudnya jaminan keamanan dan kemandirian pangan asal susu, produksi yang berdaya saing, harga yang kompetitif, peningkatan kecukupan gizi yang mengarah kepada peningkatan kecerdasan generasi bangsa di tahun 2025 tidak akan mungkin tercapai.
Pasalnya, asumsi strategis yang dibuat pada peta jalan tersebut tidak terealisasi. Asumsi tersebut, antara lain yaitu susu harus masuk ke dalam barang kebutuhan pokok dan barang penting (Bapokting) pada Perpres No. 59/2020.
Dalam Perpres No. 59/2020, dinyatakan bahwa yang mentukan Bapokting adalah pemerintah, dengan persyaratan bahwa alokasi pengeluaran rumah tangga secara nasional untuk barang tersebut tinggi, dengan memperhatikan pengaruhnya terhadap inflasi dan/atau memiliki kandungan gizi untuk kebutuhan manusia. Penetapannya bersifat strategis dalam pembangunan nasional, dengan memperhatikan mendukung program pemerintah dan disparitas harga antardaerah yang tinggi.
Berdasarkan atas persyaratan yang diberikan pemerintah dalam Perpers tersebut, serta melihat fenomena ekosistem usahanya yang terjadi diyakini bahwa persyaratan tersebut dapat dipenuhi. Namun, masalahnya belum ada kajian akademik yang akuntabel dan komprehensif, sehingga mampu membuktikan bahwa komoditas susu memiliki keterkaitan dengan sektor ekonomi lainnya baik ke depan maupun ke belakang (back ward and fore ward linkage).
Untuk itu diperlukan adanya kajian dari lembaga yang independen, guna memberikan keyakinan kepada pemerintah mengenai fungsi dan peran komoditi susu dan produk turunannya dalam ekonomi pembangunan nasional.
Selain itu, menurut Taufik (2019) pemerintah perlu menerbitkan regulasi (Perpres) yang mengatur serapan pasar SSDN penganti Inpres No. 4/1998 dan kebijakan mengenai “program susu sekolah”. Pasalnya, tiga kebijakan strategis tersebut (susu sebagai komoditas Bapokting, Perpres Persusuan dan Program Susu Sekolah) akan mampu menggerakkan industrialisasi persusuan yang terpuruk selama ini.
Beberapa kasus keberhasilan program susu sekolah di beberapa negara dapat dijadikan teladan, karena selain mampu mendukung program peningkatan kecerdasan masyarakat, menurunkan angka stunting sekaligus akan mampu membangun industri persusuan berbasis peternakan sapi perah rakyat/koperasi di perdesaan dan mengurangi pengurasan devisa negara.