Ada pernyataan cukup tegas dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait dengan sulitnya UMKM memperoleh sertifikat standar nasional Indonesia (SNI). Kritikan tajam dari kepala negara ini tak lain karena mendapat keluhan dari para pelaku usaha dalam proses sertifikasi SNI alih-alih produknya mampu menembus e-katalog yang diharapkan bisa menjangkau pasar lebih luas.
Pada acara Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia di Bali baru-baru ini, Presiden geram ketika melihat produk-produk UMKM yang masih sedikit terdaftar dalam katalog pengadaan barang secara elektronik. Catatan LKPP, selama ini rata-rata produk UMKM yang masuk dalam e-katalog hanya berkisar 50-ribuan produk per tahun dan secara keseluruhan hingga Februari 2022 baru terdapat 150.339 produk.
Target LKPP di akhir tahun lebih dari 1 juta produk. Sungguh ironi jika barang-barang yang semestinya mampu dipasok oleh sektor industri kecil milik rakyat kita sendiri justru dijejali barang impor yang telah sesuai persyaratan salah satunya SNI. Permasalahan yang dikeluhkan yaitu bahwa proses sertifikasi ruwet dan butuh biaya.
Dalam berproduksi setiap perusahaan pasti akan menghitung berapa biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan. Hal ini wajar jika UMKM teriak ketika muncul lagi biaya-biaya tambahan untuk mendapat sertifikasi produk.
Oleh karena itu, bila kita temui pengusaha kecil yang hilang gairah untuk mengurus sertifikasi tersebut bukan karena ketidakmauan, tetapi lebih karena faktor ketidakmampuan. Untuk itu, mereka butuh bantuan, bimbingan, edukasi hingga mampu mandiri. Sebab, jika dilepas sendiri, jangankan mampu memenuhi persyaratan standarnya sekadar tahu dan paham prosedur untuk mendapatkan sertifikat SNI pun perlu bimbingan.
Sebagai informasi, pihak yang berhak dalam melakukan penilaian kelayakan, asesmen suatu produk sesuai syarat SNI tak lain adalah pihak ketiga yang dinamakan sebagai Lembaga Penilaian Kesesuaian. Untuk sertifikasi produk, lembaga yang melakukan disebut Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro). Independensi dari pihak ketiga mutlak diperlukan agar kualitas produk yang dihasilkan memang benar-benar fit and proper.
Dalam upaya untuk mendapat sertifikat suatu produk, perusahaan harus melalui beberapa tahap dan melengkapi dokumen-dokumen persyaratan administrasinya. Secara garis besar ada tujuh tahapan yaitu 1) mengisi formulir permohonan, 2) verifikasi permohonan oleh pihak LSPro, 3) audit sistem manajemen mutu, 4) pengujian sampel produk, 5) penilaian sampel produk, 6) keputusan sertikasi dan 7) pemberian sertifikat SNI.
Jika semua proses berjalan lancar waktu total yang dibutuhkan kurang lebih 41 hari tetapi ada hal yang tidak boleh luput perhatian yaitu sebelum menguji produknya, perusahaan harus sudah menerapkan sistem manajemen mutu sesuai ISO 9001.
Banyaknya tahapan proses dan waktu yang dibutuhkan tersebut kerap menjadi batu sandungan yang terkesan ruwet, jelimet, tidak efisien sehingga banyak UMKM yang mengeluh. Belum lagi soal beban biaya yang harus dikeluarkan mulai dari biaya sertifikasi, biaya pengujian produk, biaya transportasi dan akomodasi untuk tim asesor dan petugas pengambil contoh bahkan biaya untuk meng-hire jasa konsultan dalam membantu menyiapkan segala prosedurnya.
Contoh kasus beberapa waktu silam salah satu UMKM perakit televisi yang digawangi pak Kusrin mengungkap biaya untuk mengurus SNI produknya mencapai Rp28,5 juta. Angka ini cukup besar bagi UMKM, tidak sebanding jika dibebankan kepada perusahaan besar yang memroduksi barang elektronik sekaliber perusahaan asing dan multinasional. Varian dari biaya berbeda-beda tergantung dari jenis produknya dan LSPro yang dipilih. Kisarannya antara Rp10 juta—Rp40 juta.
Tambahan biaya variabel seperti pengurusan sertifikasi produk bagi UMKM dinilai justru memberatkan sehingga tidak ada alasan untuk tidak dibantu. Terlebih lagi jika pemerintah ingin memperbanyak produk UMKM bisa masuk dalam daftar e-katalog. Penyederhanaan prosedur dan tahapan proses dalam sertifikasi bisa disesuaikan lagi, sedangkan bantuan biaya dari pemerintah dapat pula diupayakan.
Program bina UMK yang saat ini eksis selayaknya lebih diperluas hingga ke berbagai daerah. Sebab, dengan proses yang lebih mudah yaitu bila perusahaan berskala mikro dan kecil sudah mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB) dengan syarat produk yang dihasilkan berkategori risiko rendah maka bisa memperoleh tanda SNI bina UMK.
Peluang pasar yang lebih ekspansif tidak hanya domestik tapi juga menembus pasar ekspor menjadi sebuah target sehingga dilema keinginan UMKM memperoleh sertifikat SNI yang terbentur masalah biaya dan proses yang ruwet dapat teratasi. Makin banyaknya produk UMKM yang masuk dalam e-katalog pemerintah akan meningkatkan aktivitas perekonomian nasional. Adanya SNI jangan lagi dipandang sebagai kendala, tetapi sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas produk yang mendongkrak daya saing bangsa.