Bisnis.com, JAKARTA - Memasuki awal kuartal II/2022, industri makanan minuman (Mamin) kembali dihadapkan pada pilihan berat untuk mengerek harga jual sebagai imbas kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen.
Namun demikian, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan rencana ekspansi tahun ini akan tetap berjalan. Menurut Adhi, meski ada tekanan temporer pada daya beli konsumen, prospek investasi di industri pangan olahan dalam negeri tetap belum kehilangan magnetnya.
"Kalau ekspansi saya yakin investor-investor kita melihat industri makanan minuman di Indonesia apa pun itu [tantangannya], akan tetap bagus," kata Adhi saat dihubungi Bisnis, Senin (4/4/2022).
Dari sisi investasi, industri Mamin termasuk sektor yang kebal pandemi. Sepanjang tahun lalu, Penanaman Modal Asing (PMA) di industri makanan melonjak 46,79 persen menjadi Rp2,33 miliar. Terjadi penurunan pada Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar 4,86 persen menjadi Rp26,51 triliun pada tahun lalu.
Pada 2020 pun, PMA di industri makanan tetap tumbuh sebesar 25,15 persen menjadi Rp1,59 miliar.
"Dari sisi permintaan, saya yakin tetap bagus. Saya belum melihat ada minat penurunan investasi di industri makanan dan minuman," lanjutnya.
Baca Juga
Namun, Adhi tak menampik bahwa kenaikan PPN menjadi 11 persen diberlakukan di tengah tekanan yang cukup berat terhadap industri. Kenaikan harga bahan baku akibat konflik Rusia-Ukraina belum sempat direspons pengusaha dengan meneruskan beban tersebut kepada konsumen. Pasalnya menjelang momentum Lebaran, pengusaha perlu menjaga daya beli setelah menaikkan harga pada akhir tahun 2021 hingga awal 2022.
"Harga bahan baku banyak yang naik tetapi kami belum sempat menaikkan harga karena menjelang puasa dan Lebaran. Kalau kami naikkan terlalu dekat juga akan berpengaruh terhadap penjualan dan daya beli," katanya.