Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengkhawatirkan belum kunjung terbitnya aturan teknis mekanisme pemberian fasilitas pengecualian dan pembebasan PPN 11 persen bagi barang kebutuhan pokok atau bapok bakal berdampak negatif pada daya beli masyarakat.
Roy mengatakan peritel bakal mengikuti ketentuan yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk menaikan tarif PPN barang termasuk di dalamnya bahan pokok olahan seperti minyak goreng, gula hingga tepung terigu.
“Perlu ada suatu kepastian lewat PMK atau surat edaran kalau bahan pokok itu tidak dikenakan PPN karena nanti bisa menimbulkan multitafsir sampai saat ini kan belum ada juknisnya,” kata Roy, Kamis (31/3/2022).
Konsekuensinya, kata Roy, bakal ada multitafsir di antara peritel bahkan pedagang di pasar tradisional terkait dengan harga bapok bagi konsumen. Menurut dia, pelaku usaha bakal menaikan harga bapok di tingkat konsumen seiring adanya sentimen PPN 11 persen tersebut.
“Kalau tidak ada Juknis itu akan berdampak multitafsir sehingga kenaikan itu akan signifikan tidak hanya di ritel tapi juga pasar tradisional yang menggerek inflasi ujung-ujungnya akan menurunkan konsumsi rumah tangga, akan ada pelemahan daya beli masyarakat,” kata dia.
Sebelumnya, sejumlah perusahaan mengumumkan penyesuaian harga barang dan tarif layanan per 1 April 2022, seiring dengan berlakunya kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN.
Salah satu perusahaan yang mengumumkan penyesuaian pasca kenaikan tarif PPN adalah PT LOTTE Shopping Indonesia atau Lotte Grosir. Perusahaan ritel ini menyatakan senantiasa mengikuti dan menaati kebijakan pemerintah, termasuk soal kenaikan PPN.
Seperti diketahui, tarif PPN akan naik dari 10 persen menjadi 11 persen pada dua hari mendatang. Hal tersebut merupakan ketentuan dari Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).