Bisnis.com, JAKARTA - Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) kembali mencatatkan surplus pada Februari 2022 sebesar Rp28 triliun. Surplus disebabkan oleh realisasi penerimaan negara yang mencapai Rp156 triliun lebih tinggi 37 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Di sisi lain, realisasi belanja mencapai Rp282 triliun atau sama dengan tahun lalu.
Kenaikan penerimaan negara tidak terlepas dari kenaikan harga komoditas yang terjadi pada 2 bulan awal 2022. Tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina menggerek harga energi dan komoditas melonjak tinggi. Harga rata-rata minyak mentah tembus US$93 per barel pada Februari meningkat dibandingkan dengan Januari yang mencapai US$83/barel.
Kondisi ini mendorong penerimaan pajak minyak dan gas tumbuh hingga 162 persen atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pos yang sama tahun lalu.
Tidak hanya harga minyak, beberapa harga komoditas juga mengalami kenaikan. Harga nikel mencapai US$24.015 meningkat US$1.660 dibandingkan dengan bulan sebelumnya, harga batu bara juga ditutup pada level yang lebih tinggi di kisaran US$234 meningkat 19 persen dibandingkan posisi Februari. Sementara harga CPO mengalami peningkatan menjadi US$1.522 dari posisi bulan sebelumnya yang mencapai US$1.344.
Kondisi ini berdampak positif pada beberapa pos penerimaan terkait seperti pajak pertambangan yang tumbuh signifikan hingga 195 persen, sementara pos penerimaan nonpajak untuk sumber daya alam mengalami peningkatan hingga 126 persen atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Dengan masih tingginya ketidakpastian kapan konflik Rusia dan Ukraina akan berakhir dan bagaimana dinamika terutama setelah perang Rusia dan Ukraina selesai, maka harga komoditas utama berpotensi akan tetap berada pada level yang tinggi tahun ini. Dalam konteks APBN, hal ini dapat bermuara pada windfall kondisi di mana APBN mendapatkan keuntungan yang tidak diduga sebelumnya akibat lebih tingginya harga komoditas dari yang diproyeksikan sebelumnya.
Baca Juga
Lebih jauh jika tren harga minyak di kisaran US$90 per barel bisa bertahan sampai dengan akhir tahun ini maka hitungan penulis penerimaan perpajakan diproyeksikan akan berada di kisaran Rp1.800—Rp1.900 triliun, sementara penerimaan nonpajak akan berada di kisaran Rp395—Rp600 triliun. Sehingga total penerimaan negara akan berada di kisaran Rp2.300—Rp2.500 triliun. Sementara dengan adanya potensi kenaikan belanja subsidi, di akhir tahun belanja negara akan berada di kisaran Rp2.800—Rp2.900 triliun.
Dengan konfigurasi demikian, defisit APBN diproyeksikan akan berada di kisaran Rp400—Rp550 triliun, angka ini lebih rendah dengan target defisit yang dipatok mencapai Rp868 triliun.
Potensi realisasi defisit anggaran yang lebih kecil tentu berimplikasi beragam terhadap pengelolaan APBN ke depan, windfall yang didapatkan ke pos penerimaan negara seharusnya bisa didistribusikan ke kebijakan fiskal pemerintah yang lebih propemulihan ekonomi.
Dalam pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), misalnya, meskipun pemerintah sudah pasti akan mengenakan tarif baru pada April mendatang, pemerintah bisa mempertimbangkan untuk menjalankan kebijakan PPN yang ditanggung oleh pemerintah. Adapun barang dan jasa yang ditanggung oleh pemerintah bisa diarahkan ke barang dan jasa yang dikonsumsi luas oleh beragam kelompok masyarakat terutama kelompok menengah ke bawah.
Selain itu, pemerintah juga bisa mempertimbangkan untuk kembali menyalurkan beragam bantuan perlindungan sosial. Dengan tambahan Rp7,08 triliun, pemerintah bisa menyalurkan bantuan anggaran sembako Rp200.000 per bulan per keluarga kepada 5,9 juta masyarakat penerima bantuan. Ditambah bantuan pada pos perlindungan sosial lain seperti Bantuan Sosial Tunai (BST) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) juga efektif dalam rangka menjaga daya beli kelompok menengah ke bawah. Kedua pos ini, membutuhkan anggaran sekitar Rp48 triliun.
Jika dikalkulasi, beragam penyesuaian kebijakan di atas akan menambah pos belanja negara di kisaran Rp100—Rp150 triliun, dengan asumsi defisit anggaran bisa mencapai Rp400—Rp500 triliun seperti penjelasan sebelumnya, maka tambahan belanja akan bermuara pada angka defisit di kisaran Rp600—Rp700 triliun, angka ini masih akan relatif lebih kecil dari pagu defisit yang ditargetkan pemerintah mencapai Rp800 triliun di akhir 2022.
Alhasil, pemerintah relatif lebih leluasa dalam menjalankan kebijakan konsolidasi fiskal tanpa khawatir defisit anggaran melebihi range aman yang diset pemerintah. Dengan waktu yang masih panjang sampai dengan akhir 2022, sudah saatnya pemerintah mengambil ancang-ancang dalam memanfaatkan periode windfall di penerimaan negara.