Bisnis.com, JAKARTA - Batas akhir pelaporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPn) orang pribadi akan berakhir pada besok, Kamis (31/3/2022). Segera laporkan SPT Tahunan melalui situs DJP Online jangan sampai kena denda.
Penutupan lapor SPT Tahunan berdasarkan pada Undang-undang Ketentuan Undang-undang Perpajakan (UU KUP). UU KUP mencatat, batas akhir lapor SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP Orang Pribadi ditutup setiap 31 Maret. Sementara, untuk pelaporan Waji Pajak (WP) Badan akan ditutup pada 30 April.
Bagi WP yang belum melapor akan menerima surat pemberitahuan yang berisi teguran dan kewajiban mengurus pajaknya, termasuk ketentuan denda.
Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk segera melaporkan SPT Tahunan sebelum masa pelaporan berakhir. Lantas, bagaimana jika WP tidak melapokan SPT Tahunan?
Berikut besaran denda dan cara pembayaran denda SPT Tahunan seperti yang dilansir dari situs Pajak pada Rabu (30/3/2022).
Besaran Denda Pajak
Melihat ketentuan di dalam Pasal 7 Ayat 1 UU KUP, ada sanksi administrasi berupa denda yang nilainya bervariasi.
(1) Sanksi senilai Rp500.000 akan dikenai kepada WP yang tidak menyerahkan pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai,
(2) Denda senilai Rp100.000 akan dikenai kepada WP jika tidak menyerahkan pelaporan Surat Pemberitahuan Masa lainnya.
Denda dengan nilai serupa dibebankan bagi WP yang tidak melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) kategori orang pribadi. Sementara itu, denda lebih tinggi, mencapai Rp1 juta, dikenakan kepada WP badan usaha, untuk kasus yang sama.
Kelompok yang Tidak Terkena Denda
Menurut Pasal 7 Ayat 2 UU KUP, WP yang dibebaskan dari denda dan sanksi administrasi adalah WP orang pribadi yang telah meninggal dunia, dan/atau tidak lagi melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Selain itu, WP orang pribadi yang berstatus warga negara asing (WNA) yang sudah tidak tinggal di Indonesia.
Pasal 7 Ayat 2 UU KUP juga berlaku bagi WP badan usaha yang tidak lagi melakukan kegiatan usaha di Indonesia, tetapi belum dibubarkan sesuai peraturan yang berlaku. Kemudian, Pasal 7 Ayat 2 UU KUP juga mencakup WP yang terkena bencana dan ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Terakhir adalah WP lain yang ditentukan oleh PMK nomor 186/PMK.03/2007. Di dalam PMK tersebut, pengecualian diberikan kepada WP karena menjadi korban kerusuhan massal, musibah kebakaran, ledakan bom, atau serangan terorisme. Pengecualian juga diberikan bagi WP yang mengalami perang antarsuku, dan mengalami kegagalan sistem komputer administrasi penerimaan negara atau perpajakan.
Cara Bayar Denda secara Daring
Ditjen Pajak memberi kemudahan agar WP dapat membayar denda secara online. Simak langkah-langkah membayar denda pajak secara online.
(1) Login akun ke laman www.pajak.go.id,
(2) Klik menu “Bayar” dan pilih “e-Billing,”
(3) WP mengisi bagian “Jenis Pajak” dengan memilih “411125-PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi atau Badan.”
(4) Selanjutnya WP akan diarahkan ke bagian jenis setoran dan pilih “300-STP,”
(5) Saat berada di kolom “Masa Pajak,” WP mengisi bulan Januari hingga Desember,
(6) Isi “Tahun Pajak” sesuai dengan tahun pajak yang tertera dalam STP yang diterima,
(7) Lengkapi bagian “Nomor Ketetapan” sesuai dengan STP. Format pengisian, yaitu Nomor Urut/Jenis SKP/Tahun Pajak/Kode KPP/Tahun Terbit,
(8) Isi bagian “Jumlah Setor” sesuai dengan nominal dalam STP,
(9) Klik bagian “Buat Kode Billing” dan masukkan kode keamanan lalu klik “Submit.” Saat itu juga WP akan melihat ringkasan Surat Setoran Elektronik (SSE). Pastikan seluruh data yang tertera dalam SSE sudah benar.
(10) Klik “Cetak” dan kode billing akan terunduh secara otomatis. Nantinya kode tersebut dapat digunakan untuk melakukan pembayaran denda melalui bank, kantor pos, anjungan tunai mandiri (ATM), atau internet banking.
Bagaimana Ditjen Pajak bisa mengetahui para WP belum melaporkan kewajiban pajaknya kepada negara?
Merujuk pada UU KUP disebutkan bahwa Ditjen (Direktorat Jenderal) Pajak akan mengirimkan surat teguran untuk mengingatkan belum tunainya kewajiban para wajib pajak. Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang dikeluarkan harus segera direspons WP maksimal 30 hari setelah surat itu diterima.
Setidaknya ada empat jenis SKP, yaitu Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
SKPLB terbit bila jumlah kredit pajak lebih besar dibandingkan jumlah pajak yang terutang atau seharusnya terutang. Kemudian, SKPN terbit bila setelah proses pemeriksaan selesai, diketahui bahwa jumlah kredit pajak yang disetor sama dengan jumlah pajak yang seharusnya terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
SKPKB terbit jika jumlah kredit pajak yang WP setor lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pajak yang terutang. SKPKB ini diterbitkan setelah melewati proses pemeriksaan terlebih dulu.
Lalu, SKPKBT terbit sebagai koreksi atau tambahan atas surat ketetapan sebelumnya yang ternyata ditemukan data baru dan mengakibatkan bertambahnya jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan pemeriksaan.
Tidak hanya itu, masih ada Surat Tagihan Pajak (STP), yang diterbitkan Ditjen Pajak jika PPh tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Selain itu, STP terbit karena WP dikenai sanksi administrasi, yaitu denda dan/atau bunga atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) tidak atau terlambat memuat faktur pajaknya atau tidak mengisi faktur pajaknya secara lengkap. STP bisa terbit karena salah satunya terdapat imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada wajib pajak.
Jika STP ini tidak direspons oleh WP terutama untuk SKPKB, maka sesuai ketentuan di Pasal 13 Ayat 3 UU KUP, akan dikenai sanksi administrasi kenaikan 50 persen untuk PPh kurang bayar. Sanksi administrasi juga dikenakan jika WP mengabaikan SKPKB untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, berupa kenaikan sebesar 100 persen.
Jika ada pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, selain harus menyetor pajak yang terutang, pengusaha tersebut juga dikenai sanksi administrasi. Sesuai ketentuan Pasal 13 Ayat 2 UU KUP, bentuknya berupa bunga sebesar 2 persen per bulan dari pajak yang kurang dibayar dan dihitung sejak berakhirnya masa pajak, paling lama 24 bulan.