Bisnis.com, JAKARTA — Kepatuhan formal penyampaian laporan pajak orang pribadi menurun. Lantas, apakah penurunan laporan akan berdampak ke penurunan penerimaan pajak?
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai penurunan kepatuhan laporan surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) 2024 wajib pajak orang pribadi (WP OP) belum tentu akan menurunkan penerimaan pajak penghasilan karyawan (PPh Pasal 21).
"Mengapa? Karena besaran penerimaan PPh 21 juga ditentukan oleh faktor lain yakni besaran upah," jelas Fajry kepada Bisnis, Senin (12/5/2025).
Dia meyakini jika kenaikan upah dapat mengimbangi penurunan tingkat laporan kepatuhan pajak maka tidak terjadi penurunan penerimaan PPh 21.
Lebih lanjut, sambungnya, kinerja penerimaan secara nominal maupun pertumbuhan lebih ditentukan faktor nominal jumlah WP bukan kinerja rasio.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengungkapkan terjadi penurunan kepatuhan penyampaian SPT tahunan 2024 WP OP. Setiap tahunnya, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat pada 31 Maret untuk WP OP dan 30 April untuk WP Badan.
Pada tahun lalu, realisasinya penyampaian SPT Tahunan 2023 mencapai 1.048.242 atau 1,04 juta untuk WP Badan (korporasi) dan 13.159.400 atau 13,15 juta untuk WP OP.
Sementara pada tahun ini, realisasi penyampaian SPT Tahunan 2024 sebesar 1.053.360 atau 1,05 juta untuk WP Badan dan 12.999.861 atau 12,99 juta untuk WP OP.
Artinya, ada penurunan penyampaian SPT Tahunan WP OP pada tahun ini sebesar 159.539 (-1,21%) dibandingkan tahun lalu. Padahal, penyampaian SPT Tahunan WP Badan pada tahun ini meningkat sebanyak 5.118 (+0,49%) dibandingkan tahun lalu.
Kepada parlemen, Suryo Utomo mengaku belum mau menduga alasan mengapa terjadi penurunan kepatuhan penyampaian SPT Tahunan WP OP pada tahun ini. Dia meminta waktu untuk meninjau lebih lanjut.
"Coba kami melihat lagi ini, kira-kira penyebabnya apa SPT tidak atau belum disampaikan di tahun 2025 ini," kata Suryo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR, Rabu (7/5/2025).
Kementerian Keuangan sendiri melaporkan bahwa penerimaan pajak mencapai Rp322,6 triliun selama Januari—Maret 2025. Realisasi tersebut menurun 18,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang mencapai Rp393,9 triliun.
Sementara itu, Fajry menjelaskan salah satu penyebab menurunnya tingkat kepatuhan formal adalah faktor tenaga kerja. Menurutnya, berdasarkan data beberapa tahun terakhir, ada keterkaitan antara tingkat kepatuhan formal dengan kondisi pasar tenaga kerja.
"Secara administrasi mereka, pekerja yang terkena PHK, seharusnya menjadi WP dengan status non-efektif. Namun, hal tersebut biasanya tidak dilakukan sehingga tingkat kepatuhan formal menurun," ungkap Fajry.
Pasar Tenaga Kerja Memburuk
Satu tahun terakhir, perkembangan kondisi pasar tenaga kerja Indonesia memang cenderung memburuk. Laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap ada 7,28 juta orang menganggur per Februari 2025 atau setara 4,76% dari total angkatan kerja sebanyak 153,05 juta orang.
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan jumlah pengangguran tersebut meningkat apabila periode yang sama tahun lalu.
“Jumlah orang menganggur 7,28 juta orang. Dibanding Februari 2024, per Februari 2025 jumlah orang menganggur meningkat 83.000 orang yang naik 1,11%,” kata Amalia dalam konferensi pers di Kantor BPS, Senin (5/5/2025).
Sejalan dengan itu, proporsi penduduk yang bekerja pada kegiatan informal juga mengalami peningkatan, yaitu dari 59,17% pada Februari 2024 menjadi 59,4% pada Februari 2025.
BPS sendiri mengategorikan pekerja informal sebagai orang yang berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas, dan pekerja keluarga/tidak dibayar. Sementara. pekerja formal merupakan orang yang berusaha dibantu buruh tetap dan buruh/karyawan/pegawai.
Dari jumlah penduduk bekerja sebanyak 145,77 juta orang, BPS merincikan 37,08% termasuk buruh/karyawan/pegawai, 20,58% berusaha sendiri, 16,04% berusaha dibantu buruh tidak tetap, 13,83% pekerja keluarga/tak dibayar, 5,21% pekerja bebas di nonpertanian, 3,74% pekerja bebas di pertanian, dan 3,53% berusaha dibantu buruh tetap.
Tak sampai situ, survei Konsumen Bank Indonesia (BI) yang diselenggarakan setiap bulan menunjukkan adanya ekspektasi tren penurunan ketersediaan lapangan kerja cenderung beberapa bulan terakhir.
Survei Konsumen BI sendiri merekam indeks ketersediaan lapangan kerja (IKLK) dan indeks ekspektasi ketersediaan lapangan kerja (IEKLK).
IKLK menggambarkan persepsi responden terhadap perbandingan ketersediaan lapangan kerja saat ini dengan kondisi enam bulan yang lalu. Sebaliknya, IEKLK menggambarkan kepercayaan konsumen soal adanya lapangan kerja dalam enam bulan ke depan.
Pada Oktober 2024 atau ketika Presiden Prabowo mengambil alih pemerintahan, IKLK berada di angka 104,7. IKLK sempat naik pada November (110,1) dan Desember (112,2), tetapi kemudian turun pada Januari (107,7), Februari (106,2), dan Maret (100,3).
Terakhir, IKLK berada di angka 101,6 pada April 2025. Angka tersebut menjadi yang terendah sejak April 2022, yang mana IKLK berada di level pesimistis (di bawah 100) yaitu 95,9.
Tren serupa juga terlihat di IEKLK, yang berada di angka 129,5 pada Oktober 2024 atau ketika Prabowo dilantik menjadi presiden. Angka tersebut sempat naik pada November (136,8) dan Desember (137,6), tetapi turun pada Januari (137), Februari (134,2), Maret (125,9), dan April (123,5).
Bahkan, jika ditarik lebih jauh ke belakang maka indeks ekspektasi lapangan kerja sebesar 123,5 pada April 2025 itu menjadi yang terendah sejak September 2021 atau masa pandemi Covid-19. Saat itu, indeks ekspektasi lapangan kerja hanya sebesar 114,4.