Bisnis.com, JAKARTA — Satu poin amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP akan mundur pelaksanaannya dari rencana awal, yakni implementasi pajak karbon. Pemerintah berburu dengan waktu dalam menerapkan kebijakan itu karena ancaman krisis iklim berada tepat di depan mata.
Dalam hitungan hari, Indonesia semestinya akan mulai menerapkan kebijakan pajak karbon. Pemerintah menargetkan implementasi kebijakan baru itu bersamaan dengan pemberlakuan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN), yakni pada 1 April 2022.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu kemudian angkat suara, bahwa pemerintah belum selesai menetapkan aturan teknis dari kebijakan pajak karbon. Imbasnya, tanpa aturan turunan dari UU HPP itu pengenaan pajak karbon belum dapat berlaku di Indonesia.
"Di tengah menyiapkan semua aturan perundangan ini [turunan dari UU HPP] secara konsisten, kami melihat ruang untuk menunda penerapan dari pajak karbon ini dari yang semula 1 April 2022 ini dapat kita tunda ke sekitar Juli," ujar Febrio pada Senin (28/3/2022).
Dia menyebut bahwa implementasi pajak karbon bukan hanya mengacu kepada UU HPP. Instrumen pajak itu pun berkaitan dengan Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Perpres itu mengatur tentang nilai ekonomi karbon, yang salah satu instrumennya berkaitan dengan implementasi pajak karbon. Menurut Febrio, rangkaian kebijakan itu bertujuan untuk menjaga aktivitas ekonomi dapat selaras dengan upaya menekan emisi karbon dan menangani persoalan krisis iklim.
Baca Juga
Berbagai regulasi itu berlaku sesuai kerangka kebijakan fiskal Climate Change Fiscal Framework, yang bertujuan mencapai penurunan emisi karbon. Setiap tahunnya terdapat alokasi biaya untuk menekan emisi karbon.
Kerangka kebijakan fiskal itu mencakup aspek penerimaan dan belanja negara. Misalnya, dari sisi penerimaan pemerintah menyusun kebijakan pajak karbon, melengkapi skema pasar perdagangan karbon (carbon trade) yang berlaku secara global.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menilai bahwa pemerintah memang sepantasnya menunda implementasi pajak karbon jika aturan teknisnya belum siap. Belum rampungnya penyusunan aturan itu pun cukup disayangkan karena implementasi pada 1 April 2022 sudah dipatok sejak awal.
"Pajak karbon ini kan perlu ada suatu aturan operasional yang bisa membuat konsep dan apa yang dituju dari kebijakannya bisa tercapai tanpa membuat kebingungan atau ada dispute. Ini kan ada suatu standar atau kriteria yang akan berlaku, dan perhitungannya yang mesti jelas," ujar Faisal kepada Bisnis, Rabu (30/3/2022).
Menurutnya, pemerintah harus menjelaskan sektor apa saja yang terkena pajak, bagaimana kriterianya, juga berapa besar tarifnya. Selain itu, Core menekankan agar terdapat kejelasan regulasi atas pengenaan pajak karbon karena pengembangan ekonomi hijau menjadi langkah yang sangat penting.
"Aturan operasionalnya harus jelas dan siap dulu, penting karena pajak karbon merupakan sesuatu yang baru. Dia mau berjalan ini banyak yang harus dipertimbangkan, karena nyatanya untuk menerapkan pajak karbon tidak mudah," ujar Faisal.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut bahwa kebijakan pajak karbon baru akan berlaku bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), tidak kepada seluruh jenis industri. Menurutnya, PLTU relatif dapat lebih terkontrol sehingga memudahkan implementasi kebijakan di tahap awal.
"PLTU lebih dulu, salah satunya karena pembangkit listrik itu pasti urusannya dengan PT PLN (Persero), relatif terkontrol. PLN bisa menyusun seberapa besar emisi dari masing-masing PLTU batu bara dan bagaimana mekanisme pembayarannya," ujar Suahasil.
Menurutnya, implementasi pajak karbon di PLTU akan menjadi acuan dalam penentuan estimasi dan mitigasi bagi perluasan pemberlakuan kebijakan ke sektor-sektor lainnya. Kementerian Keuangan mencatat bahwa perluasan sektor itu akan berlangsung pada 2025.
Dampak Ekonomi
International Monetary Fund (IMF) Fiscal Monitor menilai bahwa pemberlakuan pajak karbon akan meningkatkan pendapatan fiskal, terlebih di negara-negara yang menghasilkan emisi karbon cukup tinggi. Di Asia Pasifik, pemberlakuan pajak karbon dapat mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) hingga 1 persen—2 persen.
IMF mencatat bahwa bagi lima negara dengan skala ekonomi yang tinggi di Asia, penerapan pajak karbon dapat mendorong pertumbuhan PDB berkisar 0,4 persen—2,4 persen. Dampak terhadap PDB akan berbeda-beda, bergantung kepada tarif pajak yang diberlakukan.
Berikut perhitungan IMF mengenai dampak pertumbuhan PDB pasca berlakunya pajak karbon, dengan asumsi pajak dalam tiga tarif, yakni US$25 per ton, US$50 per ton, dan US$75 per ton:
1. Indonesia
- US$25: 0,7 persen
- US$50: 1,3 persen
- US$75: 1,8 persen
2. India
- US$25: 1,06 persen
- US$50: 1,8 persen
- US$75: 2,4 persen
3. China
- US$25: 0,98 persen
- US$50: 1,6 persen
- US$75: 2,2 persen
4. Jepang
- US$25: 0,4 persen
- US$50: 0,7 persen
- US$75: 1 persen
5. Korea
- US$25: 0,7 persen
- US$50: 1,3 persen
- US$75: 1,8 persen
Adapun, menurut riset Moody's Investor Service, lambatnya adopsi penetapan harga karbon adapat membuat sejumlah wilayah rentan terhadap pajak lintas batas. Perekonomian negara-negara Asia Pasifik dapat terdampak risiko itu jika belum memberlakukan pajak karbon, sedangkan kebijakan itu sudah ada di negara-negara maju seperti Eropa.
Analis dan Assistant Vice President Moody's Deborah Tan menjelaskan bahwa negara-negara Asia Pasifik menghadapi risiko kenaikan biaya ekspor karena penerapan pajak karbon di belahan lain dunia. Moody's mencatat bahwa negara-negara Asia Pasifik dengan tujuan ekspor utama Uni Eropa akan terbebani pajak karbon, misalnya China, India, dan Indonesia.
"Ekonomi Asia berpotensi melambat ketika menghadapi penerapan pajak karbon di pasar ekspor utama mereka seperti Uni Eropa. Oleh karena itu, risiko paling dekat penerapan pajak karbon tidak datang dari kebijakan domestik, tetapi dari pengenaan pungutan emisi karbon oleh mitra dagang Asia, yang dapat meningkatkan biaya ekspor dan mengurangi aktivitas perdagangan," tulis Deborah dalam risetnya, dikutip pada Kamis (9/12/2021).
Menurutnya, negara-negara Asia Pasifik memang bukan pengekspor hidrokarbon yang signifikan, tetapi pajak akan tetap berlaku terhadap sejumlah sektor padat karbon, khususnya besi dan baja. Oleh karena itu, ekspor Indonesia dinilai akan turut terpengaruh oleh penerapan pajak karbon, bersama dengan India dan China.
Berdasarkan riset PT Bahana Sekuritas, sektor industri mendominasi produksi emisi CO2 hingga 37 persen, lalu sektor listrik dan transportasi berkontribusi 27 persen. Emisi karbon terkait sektor energi tercatat mencapai 625 MtCO2 pada 2019.
Ekonom Bahana Sekuritas Raden Rami Ramdana, Satria Sambijantoro, dan Dwiwulan menjelaskan bahwa saat ini terdapat usulan pengenaan tarif pajak karbon di rentang US$5 hingga US$10 per ton CO2. Kisaran tarif tersebut dinilai masuk akal bagi Indonesia karena terdapat tarif yang lebih agresif di negara lain.
“Kami memperkirakan potensi penerimaan pajak karbon pada tahun pertama implementasi sekitar Rp29 triliun hingga Rp57 triliun atau 0,2—0,3 persen dari PDB, dengan asumsi tarif pajak sekitar US$5—10 per ton CO2 yang mencakup 60 persen emisi energi,” tertulis dalam laporan Bahana Sekuritas.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto menilai bahwa pada tahap awal implementasinya, potensi penerimaan pajak karbon pada 2023 masih berkisar Rp194 miliar. Jumlahnya memang belum terlalu signifikan, karena pemberlakuan masih terbatas bagi PLTU.
Meskipun begitu, Wahyu menilai bahwa setelah berlaku lebih luas, orientasi kebijakan pajak karbon bukan untuk mendulang penerimaan. Menurutnya, Indonesia akan menggunakan instrumen itu untuk menjaga emisi karbon dan mendukung mekanisme perdagangan karbon.
"Jika kita simak arah dari peta jalan yang sedang disusun pemerintah, tujuan utama dari pengenaan pajak karbon ini sepertinya bukan soal penerimaan negara, tetapi menciptakan kegiatan ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Atau singkatnya fokus kebijakan ini memang untuk mengatasi masalah krisis iklim," ujarnya kepada Bisnis.
Berdasarkan perhitungan terbaru dari target Nationally Determined Contributions (NDC) hingga 2030, tertulis bahwa kebutuhan biaya Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi karbon adalah Rp3.779 triliun. Artinya, sepanjang 2020—2030, setiap tahunnya Indonesia memerlukan Rp343,6 triliun untuk penurunan emisi karbon.
Penundaan implementasi pajak karbon secara tidak langsung akan menahan potensi penerimaan yang dapat mengisi kebutuhan dana Rp343,6 triliun per tahun. Namun, jika kebijakan itu berjalan hari ini pun memang penerimaannya tidak akan sekaligus menjadi banyak.
Terlepas dari perhitungan itu, hal terpenting adalah Indonesia melakukan langkah nyata secepat mungkin, karena masalah krisis iklim tidak akan menunggu hal-hal administratif untuk rampung atau menanti kesepakatan masyarakat secara global.
Kebijakan fiskal mungkin pada umumnya sangat berkaitan dengan kepentingan negara atau masyarakat pada saat ini. Namun, rasanya sangat jelas, kebijakan pajak karbon dan perdagangan karbon sangat menentukan nasib anak cucu kelak.