Bisnis.com, JAKARTA - Lima negara utama Afrika diyakini akan menghadapi risiko utang dalam 2 tahun ke depan seiring dengan berkahirnya era stimulus pandemi.
Sebuah riset dari bank terbesar di Afrika Selatan, Standard Bank Group Ltd., menyebut negara seperti Ghana, Kenya, Angola, Ethiopia, dan Zambia menjadi yang paling rentan dari 18 negara dalam laporan.
"Saat ini keberlanjutan utang mempersyaratkan fokus yang lebih tajam," ungkap Kepala Riset Afrika Standard Bank Jibran Qureishi seperti dikutip Bloomberg dalam wawancara pada 11 Maret.
Menurutnya, Ghana membutuhkan pendanaan dari International Monetary Fund untuk mengembalikan kepercayaan investor.
Analis mengatakan IMF menjadi andalan bagi Ghana lantaran China masih ragu memberikan pinjaman kepada negara Afrika.
Stabilitas keuangan publik akan semakin sulit dibuktikan lantaran proyeksi pendapatan pemerintah yang terlalu ambisius. Sementara itu, memangkas belanja akan mengganggu upah sektor publik dan biaya utang yang menyumbang lebih dari setengah pengeluaran, katanya.
"Apapun yang kita lakukan, kami tidak akan pergi ke IMF. Konsekuensinya mengerikan. Kami adalah bangsa yang bangga. Kami memiliki sumber daya. Kami memiliki kapasitas. Kami bukan orang-orang yang berpandangan pendek," ujar Menteri Keuangan Ghana Ken Ofori-Atta kepada radio CitiFM.
Sementara itu, Kenya masih bisa melakukan pembiayaan kembali pada utangnya dan tengah mempertimbangkan Eurobond senilai US$1 miliar pada pertengahan tahun ini.
Namun, risiko politik dari pemilihan umum pada Agustus dikhawatirkan dapat memperlambat upaya mengendalikan pinjaman dan mempersempit defisit anggaran.
Negara bagian pantai barat Afrika Selatan, Angola menjadi penerima manfaat terbesar dari Inisiatif Penangguhan Layanan Utang negara yang didukung oleh G20 selama pandemi.
Hal itu membuat negara dengan penghasil minyak mentah terbesar di kawasan ini bisa menunda pembayaran utang senilai US$3 miliar pada tahun lalu.
Namun, Qureishi mewaspadai program IMF yang segera berakhir, ketidakpastian pada pembicaraan utang bilateral dan lemahnya investasi pada sektor perminyakan.
Adapun Ethiopia masih menunjukkan keberlanjutan pada utangnya karena proporsi pinjaman dari lender komersil proporsinya lebih rendah.
Standard Bank memperingatkan Ethiopia harus segera mengatasi kelangkaan valuta asing yang diperburuk oleh pandemi dan konflik sipil yang berlarut-larut agar menghindari gagal bayar pada tahun ini.
"Ethiopia berada di titik krusial. Ketika Anda melihat layanan utang jangka pendek sebagai fungsi cadangan devisa, maka jauh lebih memprihatinkan di Ethiopia daripada di Ghana," ujar Qureishi.
Sementara itu, Zambia sudah terlanjur gagal bayar pada 2020, negara pertama yang default pada awal pandemi. Sejak saat itu, perjanjian tingkat staf dijamin untuk fasilitas IMF senilai US$1,4 miliar.
Namun kemajuan mungkin terbatas karena peran China, kreditur eksternal terbesar negara Afrika selatan, masih belum jelas, kata Qureishi.