Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan minyak dan gas (migas) satu per satu mulai meninggalkan Indonesia. Terbaru, ConoccoPhillips memutuskan menjual aset miliknya kepada PT Medco Energi Internasional sehingga menambah daftar panjang perusahaan migas yang cabut dari Indonesia.
Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menilai, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan investor, sehingga memutuskan untuk hengkang dari Indonesia.
Pertama, perubahan dari Production Sharing Contract (PSC) dan Gross Split yang menimbulkan ketidakpastian yang cukup tinggi bagi pelaku migas, khususnya investor asing.
"Mereka melihat bahwa rezim dari fiskal, pembagian keuntungan dengan negara misalnya, itu semakin lama semakin tidak menarik. Jadi perubahan antara PSC ke Gross Split itu sangat signifikan sekali mereduksi minat dari investor asing," kata Bhima kepada Bisnis, Selasa (15/3/2022).
Kedua, masih terjadinya tumpang tindih regulasi. Menurut Bhima, meskipun sudah ada Undang-undang Cipta Kerja namun faktanya belum banyak aturan yang bisa dijalankan.
Apalagi, UU Cipta Kerja dianggap inkonstitusional bersyarat sehingga bagi pelaku usaha sektor migas, ketidakpastian investasi dalam hal regulasi sangat besar.
Bhima juga menyoroti perubahan menteri yang seringkali terjadi. Menurutnya, perubahan menteri ini berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan turunannya.
"Kalau menterinya tetap sama, mungkin beda cerita. Teknis menteri ini yang terkadang kebijakannya tergantung selera politik dan kepentingan si menteri SDM atau investasi, jadi itu yang lebih krusial bagi si investor," ungkapnya.
Belum lagi diskresi-diskresi yang tanpa melalui prosedur revisi regulasi, langsung menabrak aturan. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai hambatan utama para investor.
Selanjutnya, dari sisi pemerintah daerah. Bhima mengatakan, pemerintah daerah (Pemda) di beberapa daerah terkesan kurang proaktif. Dia memberi contoh sengketa di masyarakat yang kerap kali terjadi. Akibatnya, proyek menjadi tertunda dan biayanya menjadi lebih mahal. Ditambah, Pemda tidak membantu investor migas untuk menyelesaikan masalah.
Hal lainnya yang mungkin terkait insentif-insentif perpajakan dan biaya melakukan eksplorasi yang relatif mahal.
"Kalau kita lihat secara teknis, cadangan minyak di Indonesia ini ada, tapi biaya untuk melakukan eksplorasi itu relatif mahal, apalagi sampai proses produksi. Karena kebutuhan teknisnya, kemudian teknologinya jauh lebih mahal. Nah, itu mungkin jadi salah satu hambatan," paparnya.