Bisnis.com, NUSA DUA — Deretan isu yang menjadi sorotan koalisi masyarakat sipil, Civil 20 atau C20 sarat dengan kepentingan negara berkembang. Hal tersebut tak lepas dari posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 pertama dari negara berkembang.
Sejak Agustus 2021, seluruh unsur dan kelompok kerja C20—yang merupakan bagian dari G20—aktif menjaring berbagai masukan isu yang menjadi perhatian kelompok-kelompok masyarakat sipil. Isu itu mencakup masalah kesehatan, ekonomi, lingkungan, gender, hingga keadilan digital.
Tujuh bulan kemudian, pada Maret 2022 ditetapkan empat payung isu yang akan digodok seluruh unsur C20 sepanjang tahun ini. Pembahasan itu akan berbuah rekomendasi usulan dari C20 bagi para pemimpin negara di G20, untuk kemudian menjadi perjanjian bersama.
Keempat isu utama itu mencakup arsitektur kesehatan global yang adil dan iklusif; pembiayaan yang inklusif dan berkelanjutan; mitigasi krisis iklim yang inklusif, adaptasi, dan akses energi bagi kelompok rentan; serta transformasi digital yang inklusif, berbasis HAM, dan dengan perspektif gender.
Payung isu itu diturunkan dalam berbagai penjabaran yang akan dikaji oleh tujuh kelompok kerja, sesuai bidangnya masing-masing. Namun, terdapat sejumlah isu yang saling berkaitan lintas sektor, seperti perlindungan sosial bagi kelompok rentan, akses terhadap pendidikan yang inklusif, hingga soal peyusunan kebijakan publik.
Sherpa C20 Indonesia Ah Maftuchan menilai bahwa dalam turunannya, terdapat banyak usulan pembahasan isu yang menjadi keresahan negara-negara berkembang anggota G20. Usulan itu terkumpul bukan hanya dari kelompok masyarakat sipil di negara berkembang, tetapi juga dari negara maju.
Baca Juga
Misalnya, C20 mendorong adanya perluasan akses terhadap vaksin dan produk kesehatan terkait Covid-19 ke negara-negara berkembang dan miskin, khususnya di belahan dunia selatan. Lalu, forum itu pun mendorong G20 agar menetapkan penurunan biaya remitansi secara global menjadi maksimal 3 persen.
Usulan-usulan tersebut menarik karena banyak anggota G20 yang merupakan negara maju dan memiliki kekuatan dan posisi tawar tinggi. Menurut Maftuchan, banyaknya usulan isu yang menjadi keresahan negara berkembang tak lepas dari posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 tahun ini.
“Presidensi punya semacam privilege untuk mengajukan isu-isu prioritas, C20 juga demikian. Oleh karena itu, isu yang diangkat kalau dilihat sangat mencerminkan kepentingan negara berkembang, tidak lepas dari privilege itu,” ujar Maftuchan usai rangkaian Kick Off & Meeting C20 Indonesia, Rabu (9/3/2022).
Menurutnya, posisi Indonesia yang merupakan negara berkembang pertama yang menjadi presidensi turut memengaruhi kontestasi isu itu. Oleh karena itu, berbagai keresahan negara berkembang harus masuk ke meja para pimpinan G20, salah satunya melalui C20 dan forum-forum lain.
Maftuchan menjelaskan bahwa Indonesia mendapatkan berbagai ‘titipan’ isu dari negara-negara berkembang non anggota G20. Hal tersebut dapat terjadi karena posisi Indonesia yang cukup kuat di G20 dan adanya komunikasi yang baik dengan negara-negara berkembang, misalnya dari Konferensi Asia Afrika (KAA).
“Yang jelas, posisi Indonesia sudah sangat tegas, Presiden Joko Widodo beberapa kali menyampaikan Indonesia akan memperjuangkan kepentingan negara berkembang, dan menurut saya itu pendirian nasional kita,” ujarnya.
Menurut Chair C20 Indonesia Sugeng Bahagijo, isu yang dibahas G20 memang tak selalu dapat terselesaikan dengan cepat. Misalnya, upaya penanganan krisis iklim—yang selalu dibahas dalam Climate Change Conference of Parties (COP)—belum kunjung ada realisasi yang signifikan.
Dia pun berharap agar isu-isu dari negara berkembang dapat sampai ke meja G20 dan mendapatkan tindak lanjut yang riil. Sebisa mungkin, jangan sampai isu-isu itu kemudian tertunda dan terbawa lagi ke pertemuan G20 selanjutnya.
“Akhirnya nanti akan ada keputusan politik antarkepala negara,” ujar Sugeng.
Program Officer Indonesia for Global Justice (IGJ) Agung Prakoso, yang menjadi Chair Working Group Vaccine Access and Global Heatlh C20, menilai bahwa presidensi Indonesia harus mampu menjembatani kepentingan negara-negara miskin dan berkembang non anggota G20.
Menurutnya, pandemi Covid-19 saat ini sangat menunjukkan ketimpangan kapasitas negara maju dengan negara berkembang dan miskin. Misanya, soal vaksin, negara maju telah sibuk mendorong booster, sedangkan negara miskin masih kesulitan untuk ‘sekadar’ menyuntik dosis pertama secara luas.
Working group itu pun akan mendorong pembahasan arsitektur kesehatan global yang inklusif, peningkatan akses yang merata terhadap vaksin, pelibatan kelompok masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan kesehatan. Selain itu, ada pula dorongan pembahasan pembiayaan kesehatan global berkaca dari ketimpangan selama ini.
“Itu menjadi fokus dari negara-negara miskin, yang tidak memiliki kekuatan ekonomi politik. G20 sebagai yang memiliki kekuatan ekonomi terbesar di dunia, kami ingin adanya dukungan G20 untuk sektor kesehatan,” kata Agung pada Selasa (8/3/2022).
Program & Research Assistant Perkumpulan Prakarsa Fiona Armintasari, yang menjadi Chair Working Group Taxation & Sustainable Finance menilai bahwa isu finansial dan kebijakan fiskal pun turut menjadi perhatian masyarakat sipil. Alasannya, kebijakan keuangan akan memengaruhi hajat hidup dan kualitas layanan publik.
Kelompok kerjanya mengusulkan isu seperti peningkatan akses pendanaan bagi usaha kecil dan perempuan, peningkatan regulasi e-commerce, hingga reformasi perpajakan yang berkeadilan. Menurut Fiona, hal-hal tersebut bukan hanya menjadi keresahan negara berkembang dan miskin, tetapi bahkan negara maju.
“G20 perlu mengadopsi perpajakan yang berkeadilan dan keuangan berkelanjutan, sebagai bagian dari exit strategy untuk memastikan pemulihan ekonomi ini berkelanjutan dan inkluusif,” ujarnya.
Korupsi Politik
Dewan Etik Indonesia Corruption Watch (ICW) Dadang Tri Sasongko menjelaskan bahwa berdasarkan catatan Transparansi Internasional, 47 persen dari anggota G20 mencatatkan indeks persepsi korupsi di bawah 50. Semakin kecil skala indeks itu maka temuan korupsi semakin banyak.
Menurutnya, G20 harus memberi perhatian terhadap masalah tersebut karena kelompok itu akan sangat memengaruhi kinerja pemberantasan korupsi sebagian besar negara-negara di dunia.
“Di negara-negara ini [G20] sedang ada problem serius, dan sebagian besar adalah korupsi politik,” ujar Dadang yang juga Chair Anti-Corruption Working Group C20.
Secara global, terdapat 120 negara yang memiliki indeks persepsi korupsi di bawah 50. Hal tersebut menjadi masalah besar yang harus dipikirkan oleh G20, yang juga diterpa kondisi serupa.
Dadang menjelaskan bahwa transaksi dan perdagangan terus terjadi lintas negara, baik antaranggota G20 maupun dengan negara-negara lain yang skala ekonominya lebih kecil. Adanya praktik korupsi otomatis akan memengaruhi aktivitas di negara-negara terkait.
“Ini tantangan besar bagi G20, bukan hanya mengangkat situasi persepsi korupsi [di anggotanya], tetapi karena dia bertransaksi, berdagang, maka kinerja antikorupsi G20 sangat menentukan hitam putihnya negara-negara lain, yang sebagian besar tidak lebih baik dari negara lainnya,” ujar Dadang.