Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Minyak Dunia Makin Menggila, Tarif Listrik Naik? Begini Jawaban PLN

Rata-rata biaya pembangkitan listrik PLN mencapai Rp 3.097,30 per kWh.
Pekerja melintas di depan tempat penguapan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan Raya,  di Nagan Raya, Aceh, Senin (28/9/2020). PLTU Nagan Raya memproduksi sekitar 220 Megawatt yang didistribusikan ke sejumlah unit transmisi untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di seluruh Aceh. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Pekerja melintas di depan tempat penguapan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan Raya, di Nagan Raya, Aceh, Senin (28/9/2020). PLTU Nagan Raya memproduksi sekitar 220 Megawatt yang didistribusikan ke sejumlah unit transmisi untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di seluruh Aceh. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Bisnis.com, JAKARTA – Harga-harga komoditas energi, seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara terus melesat, bahkan kian mencetak rekor baru. Lonjakan harga komoditas disebabkan karena konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang terus memanas dan belum ada tanda-tanda akan berakhir.

Meningkatnya harga komoditas-komoditas energi tersebut memicu kenaikkan tarif listrik dan harga kebutuhan pokok di sejumlah negara. Di Indonesia, kenaikan harga minyak menyebabkan naiknya harga LPG dan beberapa produk Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi. Lantas apakah tarif listrik di Indonesia akan mengalami kenaikan?

Sapto Aji Nugroho, EVP Batu Bara PT PLN (Persero) mengatakan, perubahan tarif listrik merupakan wewenang pemerintah pusat. Sementara PLN sebagai operator kelistrikan nasional bertugas untuk menyediakan pasokan listrik yang aman bagi masyarakat.

"Bagi PLN, untuk isu kenaikan tarif listrik itu domain pemerintah, sebagai operator PLN menyediakan listrik bagi masyarakat. Apakah ada dampak terhadap kenaikan tarif itu jadi domain pemerintah, dan kami sebagai operator bertugas untuk menyiapkan tenaga listrik," jelasnya dalam program Energy Corner Squawk Box yang disiarkan oleh CNBC Indonesia, Senin (07/03/2022).

Dengan demikian, lonjakan harga minyak akan berdampak pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN. Pasalnya, tidak ada peraturan khusus terkait harga minyak untuk pembangkit listrik karena sudah dilepas ke harga pasar, tidak seperti dengan harga gas dan batu bara untuk pembangkit listrik yang masih dibatasi oleh pemerintah.

Dia menjelaskan, biaya listrik untuk Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berbasis BBM memang terdampak atas lonjakan harga minyak ini, namun menurutnya tidak terlalu signifikan. Dia beralasan, pemakaian BBM pada bauran energi pembangkit listrik perseroan kini hanya tinggal sekitar 3,6 persen.

"Energy mix untuk penggunaan BBM sangat kecil hanya 3,6 persen dari total energy mix yang dikelola PLN, dampaknya nggak signifikan memengaruhi biaya dari produksi listrik PLN," kata Sapto.

Adapun untuk harga batu bara dan gas untuk pembangkit listrik dalam negeri menurutnya masih diregulasi, yakni maksimal US$ 70 per ton untuk batu bara dan US$ 6 per MMBTU untuk gas. Dengan demikian, lonjakan harga batu bara dan gas di pasar internasional, menurutnya tidak berdampak pada kenaikan biaya pembangkitan listrik berbasis batu bara dan gas PLN.

"Karena dominan di batu bara, gas dan BBM hanya 3,6 persen dan berdampak nggak signifikan untuk biaya operasional PLN karena porsi energy mix untuk BBM kecil dan harga batu bara ada cap US$ 70 (per ton) dan harga gas diatur pemerintah. Ada kenaikan dampak dari BBM, tapi nggak signifikan," tukasnya.

"Dampak ke kenaikan BPP bahwa kita untuk batu bara tidak terpengaruh dari eksternal, begitu juga gas. Yang terpengaruh dari BBM, tapi energy mix BBM kita kecil, jadi masih manageable ke energi primer, ke BPP kami," ujarnya.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kontribusi batu bara pada pembangkit listrik nasional hingga November 2021 mencapai 65,93 persen, gas 17,48 persen, BBM 3,86 persen, air 6,78 persen, panas bumi 5,54 persen, biomassa 0.22 persen, dan energi baru terbarukan (EBT) lainnya 0,19 persen.

Untuk tarif listrik pelanggan non subsidi atau tariff adjustment untuk tegangan rendah saat ini masih dipatok Rp 1.444,70 per kWh. Ini tarif terbaru per Oktober 2020 di mana pemerintah menurunkan Rp 22,5 per kWh, setelah sejak 2017 tidak mengalami perubahan kenaikan/penurunan.

Adapun rata-rata biaya pembangkitan listrik PLN pada 2020 mencapai Rp 3.097,30 per kWh.

Pemerintah sejak tahun lalu sempat mengungkapkan kemungkinan akan kembali menerapkan penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan non subsidi (tariff adjustment) pada 2022 ini. Paling cepat, penyesuaian tarif listrik pelanggan non subsidi ini disebutkan akan dilakukan pada kuartal III 2022 atau bisa dimulai pada Juli 2022.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM menjelaskan, penyesuaian tarif listrik pelanggan non subsidi tidak pernah terjadi sejak 2017. Seharusnya, tarif listrik non subsidi ini berfluktuasi dan ditinjau setiap tiga bulan sekali disesuaikan dengan setidaknya tiga faktor, yakni inflasi, ICP, dan perubahan kurs.

Oleh sebab itu, automatic tariff adjustment (Atta) atau penyesuaian tarif listrik di tahun ini akan ditinjau dalam kurun waktu maksimal enam bulan, sesuai dengan kesepakatan dengan Badan Anggaran DPR RI. Penyesuaian tarif pun, kata Rida, akan bersifat situasional tergantung faktor lainnya.

Dia menekankan, pada kuartal I 2022 ini pemerintah masih belum melakukan penyesuaian tarif listrik non subsidi. Begitu juga dengan kuartal II, dengan melihat makin maraknya kasus Covid-19 terutama adanya varian Omicron, maka menurutnya kemungkinan pemerintah juga tidak akan melakukan penyesuaian tarif listrik non subsidi hingga Juni 2022 mendatang.

Menurutnya, kenaikan tarif listrik non subsidi juga akan mempertimbangkan kondisi ekonomi makro, sehingga inflasi atau daya beli masyarakat tetap terjaga.

Hingga kini PLN memiliki 38 golongan pelanggan. Sebanyak 25 golongan mendapatkan subsidi dan 13 golongan atau 41 juta pelanggan tidak mendapatkan subsidi.

Sebanyak 13 golongan pelanggan non subsidi inilah yang selama ini tarif listriknya tidak diubah pemerintah, sehingga pemerintah harus memberikan kompensasi kepada PT PLN (Persero) saat terjadi perubahan kurs, ICP, dan inflasi.

Oleh karena itu, dengan skema tariff adjustment ini, kenaikan tarif listrik diperkirakan mulai naik dari Rp 18 ribu hingga Rp 101 ribu per bulan sesuai dengan golongan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper