Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Pertalite Tak Terpengaruh Kondisi Global, Krusial Bagi Daya Beli

Manuver pemerintah untuk tidak menaikkan harga Pertalite dinilai merupakan keputusan tepat dan cermat untuk mengurangi beban APBN, tanpa memicu inflasi dan memperburuk daya beli rakyat.
Pengendara mengisi bahan bakar di SPBU, di Jakarta, Senin (9/4/2018)./JIBI-Dwi Prasetya
Pengendara mengisi bahan bakar di SPBU, di Jakarta, Senin (9/4/2018)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA – Harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dipastikan tidak naik meskipun harga minyak mentah dunia dalam tren melonjak sebagai dampak invasi Rusia ke Ukraina dan naiknya permintaan global seiring dengan pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.

Hal tersebut terlihat dari keputusan PT Pertamina (Persero) menyesuaikan beberapa jenis bahan bakar. Dari penyesuaian tersebut, Pertalite dan Pertamax tidak mengalami kenaikan.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa kebijakan untuk menahan harga jual Pertalite merupakan bentuk kepedulian pemerintah dan Pertamina dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Terlebih tekanan semakin besar setelah adanya kenaikan harga-harga sejumlah komoditas dan kelangkaan beberapa kebutuhan pokok. “Saya kira kepedulian dan niat baik Pertamina tersebut sangat positif pada masyarakat,” ujar Komaidi dalam keterangan tertulis, Senin (7/2/2022).

Dia menerangkan bahwa pergerakan harga minyak dunia yang terus menguat membuat keekonomian Pertalite berada di atas Rp10.000 per liter. Meski begitu, hanya Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex yang mengalami penyesuaian mengikuti kenaikan harga dunia.

Komaidi menilai langkah ini merupakan keputusan tepat dan cermat untuk mengurangi beban APBN, tanpa memicu inflasi dan memperburuk daya beli rakyat. Tetapi, Pertalite dan Pertamax harganya masih sama seperti sebelumnya, yakni Pertalite Rp 7.650 per liter dan Rp9.000 per liter.

Saat ini, sulit memprediksikan puncak harga minyak dunia karena akan dipengaruhi berbagai faktor. Faktor pendorong kenaikan harga minyak lebih pada faktor psikologis yang dalam konsep ekonomi banyak dikenal dengan teori ekspektasi rasional.

“Dasar pengambilan keputusan bukan pada ukuran fundamental ekonomi tetapi lebih pada faktor kepanikan jika dalam konteks perang,” ujarnya.

Dia memperkirakan bahwa kepanikan tersebut berpotensi semakin meningkatkan harga minyak mentah di atas US$120 per barel. Bahkan bukan tidak mungkin menyentuh US$150 per barel. “Tapi prediksi-prediksi ini sulit ditemukan justifikasinya mengingat variabel kepanikan sulit dihitung," jelasnya.

Pun demikian, posisi Indonesia sebagai price taker membuatnya tidak memiliki kemampuan mengintervensi harga minyak dunia. Dalam kondisi ini, Indonesia relatif tidak memiliki pilihan selain tetap melakukan importasi.

Di sisi lain, lanjut Komaidi, pemerintah dan Pertamina perlu lebih proporsional dalam mengambil kebijakan. Dia mencontohkan BBM dengan RON 90 merupakan nonsubsidi yang tidak diberikan subsidi di APBN. Maka, semua pihak yang terkait dengan penentuan harga perlu konsisten jika BBM dengan kategori nonsubsidi, pemerintah tidak bisa menetapkan harganya karena harus mengacu pada mekanisme pasar.

“Maksimal yang dapat dilakukan adalah menentukan batasan harga tertinggi dan harga terendah untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen. Jika, memang tidak dibolehkan untuk disesuaikan harganya saya kira perlu konsisten saja yaitu dijadikan RON 90 sebagai BBM subsidi,” katanya.

Deputi III Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Montty Girianna dalam diskusi virtual beberapa waktu lalu, menyebutkan bahwa harga Pertalite dalam waktu lima hingga enam bulan tidak akan naik kendati harga jual Pertalite saat ini lebih rendah jika dibandingkan nilai keekonomiannya.

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan sebagai negara net importer, Indonesia dinilai sangat dirugikan dengan kenaikan harga minyak dunia hingga di atas US$110 per barel. Kenaikan harga minyak tersebut akan sangat memberatkan beban APBN.

Beban ini akan memberikan kompensasi pada saat Pertamina menjual BBM di bawah harga keekonomian. “Kalau tidak ada kenaikkan harga BBM di dalam negeri beban APBN semakin berat,” katanya.

Kendati demikian, kebijakan kenaikan harga tetap dilematis bagi pemerintah. Pasalnya, kenaikan harga BBM berpotensi menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.

Maka, pada saat harga minyak dunia di atas US$100 per barel, pemerintah perlu menaikkan harga BBM secara selektif, yakni menaikkan harga Pertamax ke atas dan menghapus Premium. “Namun jangan naikkan harga Pertalite,” kata dia.

Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman sebelumnya mengatakan Pertamina terus mencermati kenaikan harga minyak mentah dunia dan dampak-dampak strategisnya.

Pertamina kata dia berupaya menjaga pasokan BBM dan Elpiji nasional, menjamin distribusi komoditas penting tersebut sampai ke seluruh masyarakat Indonesia serta memastikan keberlanjutan ekosistem energi nasional di tengah tantangan harga minyak mentah dunia yang terus melambung.

“Kegiatan operasional Pertamina dari hulu, kilang sampai hilir, tetap berjalan dengan baik untuk menjaga ketahanan energi nasional,” ujar Fajriyah.

Menurut dia, dengan upaya ini Pertamina memastikan ekosistem migas nasional juga dapat berjalan dengan baik agar terus menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper