Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Cangkang Sawit Jadi Rebutan, Industri Usul Ada DMO

Sampai dengan kuartal III/2021, ekspor cangkang sawit Indonesia mencapai US$286 juta atau sekitar Rp4,1 triliun. Dari jumlah tersebut, Jepang menguasai kontribusi sebesar 84,5 persen, diikuti Thailand, Singapura, Korea Selatan, dan India.
Pekerja dengan alat berat memindahkan cangkang sawit yang akan diekspor ke Thailand di Pelabuhan Bela-Belang, Kecamatan Kalukku, Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (27/7/2020). Sulbar, Kalbar, Riau, dan Babel tercatat sebagai provinsi pengekspor sawit. /ANTARA
Pekerja dengan alat berat memindahkan cangkang sawit yang akan diekspor ke Thailand di Pelabuhan Bela-Belang, Kecamatan Kalukku, Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (27/7/2020). Sulbar, Kalbar, Riau, dan Babel tercatat sebagai provinsi pengekspor sawit. /ANTARA

Bisnis.com, JAKARTA - Tak hanya crude palm oil (CPO) yang harganya memanas, cangkang kelapa sawit sebagai bahan bakar alternatif juga diburu sektor industri.

Ketua Umum Asosiasi Kimia Dasar Anorganik (Akida) Michael Susanto Pardi mengusulkan adanya domestic market obligation (DMO) untuk komoditas tersebut karena permintaan yang tinggi di pasar dunia. Di pasar ekspor, Indonesia banyak mengapalkan cangkang sawit ke Jepang yang juga tengah menggenjot penggunaan sumber energi lebih hijau.

"Banyak pabrik-pabrik sudah menggunakan cangkang [sawit], jadi rebutan. Mestinya diatur DMO seperti batu bara, jadi prioritas dalam negeri dulu," kata Michael kepada Bisnis, Rabu (23/2/2022).

Penggunaan cangkang kelapa sawit untuk bahan bakar industri dilakukan dengan mengolah komoditas tersebut menjadi biomassa yang kemudian dimanfaatkan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Michael mengatakan karena permintaan deras mengalir terutama dari Jepang, harga cangkang sawit menjadi lebih mahal. Sampai dengan kuartal III/2021, ekspor cangkang sawit Indonesia mencapai US$286 juta atau sekitar Rp4,1 triliun. Dari jumlah tersebut, Jepang menguasai kontribusi sebesar 84,5 persen, diikuti Thailand, Singapura, Korea Selatan, dan India.

"Sekarang jadi mahal karena banyak diekspor ke Jepang, karena di sana juga fokus penggunaan EBT," ujarnya.

Michael mengatakan daripada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, penggunaan cangkang sawit pada PLTU lebih stabil dengan daya yang besar, khususnya untuk menopang operasional produksi.

Sedangkan PLTS atap lebih banyak digunakan untuk utilitas dasar yang kebutuhan dayanya relatif kecil seperti penerangan gedung.

Namun menurutnya, penggunaan PLTS atap berpeluang semakin menarik dengan terbitnya Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No.26/2021. Beleid anyar yang baru terbit Februari 2022 tersebut memungkinkan ekspor listrik 100 persen ke PLN, dari ketentuan sebelumnya hanya 65 persen. Selain itu, pemerintah juga membuka peluang perdagangan karbon dari PLTS atap.

"PLTS atap menarik, sebagian sudah punya PLTS atap, namun belum masif, hanya untuk basic utility saja," ujar Michael.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Reni Lestari
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper