Bisnis.com, JAKARTA - China dan Australia tampaknya saling menjauh. Hubungan menjadi dingin setelah China memberlakukan “larangan tidak resmi” pada impor batu bara Australia pada November 2019. Pada saat itu, banyak yang berspekulasi bahwa industri baja di China akan terpuruk. Ternyata, harga baja di China masih stabil hingga sekarang.
Perselisihan bermula pada tahun 2019 setelah China menunda pengiriman batu bara Australia. Faktor lain termasuk Covid-19 memperburuk keadaan.
China meneguhkan pendiriannya setelah pemerintah Australia menyerukan penyelidikan independen tentang asal-usul Covid-19. Dalam apa yang ditafsirkan sebagai “pembalasan”, China memblokir impor produk Australia seperti tembaga dan batu bara. Tahun lalu, China mengimpor 54,7 juta ton batu bara kokas, turun 24,6 persen dibandingkan 2020.
Sementara itu, laporan baru dari Australia, termasuk dari salah satu provinsi penghasil batu bara terbesarnya, Queensland, mengindikasikan Australia telah menemukan pasar ekspor lainnya. China juga telah meningkatkan produksi batubara dalam negeri untuk mencoba dan memenuhi kekurangan tersebut.
Namun, para analis mengatakan upaya itu belum terlalu berhasil. China mencabut pembatasan penambangan batu bara yang diberlakukan oleh rencana produksi nasional negara itu. Hal ini membantu menopang defisit permintaan dan pasokan batubara. Target nasional China untuk menggalakkan penggunaan bahan bakar alternatif dan peningkatan efisiensi energi juga telah mengurangi defisit batu bara.
Pencabutan kontrol ekspor batu bara dari Indonesia mungkin menjadi kabar baik bagi China. China tetap menjadi salah satu importir terbesar batu bara Indonesia, tahun lalu mengimpor sebanyak 123 juta ton.
Baca Juga
Sebelum larangan tidak resmi terhadap ekspor Australia dimulai, batu bara Australia telah menyumbang hampir setengah dari impor batu bara China. Larangan impor Australia mempengaruhi banyak sektor di Cina di mana batu bara memainkan peran penting, termasuk untuk industri baja.