Bisnis.com, JAKARTA — Aktivitas manufaktur di China membaik untuk dua bulan berturut-turut meskipun masih berada di zona kontraksi. Pemulihan tersebut terjadi di tengah rebound perdagangan pascagencatan senjata perang tarif dengan Amerika Serikat dan lemahnya permintaan domestik.
Berdasarkan data Biro Statistik Nasional (NBS) China yang dikutip dari Bloomberg pada Senin (30/6/2025), purchasing managers' index (PMI) sektor manufaktur resmi naik menjadi 49,7 pada Juni 2025, dari 49,5 pada bulan sebelumnya.
Angka tersebut sedikit lebih tinggi dari estimasi median dalam survei Bloomberg. PMI di bawah 50 menandakan kontraksi aktivitas.
Pada sektor manufaktur, indeks pesanan baru tercatat mengalami ekspansi untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir. Namun, indeks ketenagakerjaan kembali melemah setelah sempat membaik pada Mei. Dari 21 industri yang disurvei, lebih dari setengahnya berada di zona ekspansi.
“Produksi manufaktur mengalami percepatan dan permintaan pasar menunjukkan perbaikan,” ujar Zhao Qinghe, analis senior di NBS dalam pernyataan resminya.
Data PMI merupakan indikator awal yang dirilis tiap bulan untuk memberikan gambaran aktivitas ekonomi China. Angka terbaru mencerminkan kondisi penuh bulan pertama sejak Beijing dan Washington menyepakati jeda 90 hari dalam perang dagang mereka.
Baca Juga
Sementara itu, PMI non-manufaktur yang mencerminkan aktivitas di sektor konstruksi dan jasa naik tipis ke level 50,5 dari 50,3 pada Mei, juga mengungguli ekspektasi pasar.
Setelah rilis data tersebut, offshore yuan menguat 0,2% menjadi 7,1626 per dolar AS. Sementara itu, kontrak berjangka obligasi pemerintah bertenor 30 tahun turun hingga 0,6%, penurunan harian terbesar dalam sebulan, karena pelaku pasar mengurangi ekspektasi terhadap pelonggaran moneter lanjutan.
Permintaan luar negeri, yang menyumbang hampir 40% pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I/2025, memberi kompensasi terhadap lemahnya konsumsi domestik. Namun, kondisi ini juga menjadikan China semakin bergantung pada hubungan dagang yang stabil, terutama dengan AS, mitra utama yang baru saja menyepakati kerangka dagang dalam perundingan di Jenewa.
Kesepakatan tersebut mencakup komitmen China untuk memasok logam tanah jarang (rare earth) yang digunakan di berbagai sektor strategis seperti turbin angin hingga pesawat jet.
Meski demikian, keberlanjutan pemulihan manufaktur China masih dipertanyakan mengingat prospek ekspor yang tidak pasti, dan kesepakatan dagang jangka panjang yang belum tercapai.
Beberapa bank global seperti Bank of America dan Citigroup diketahui telah merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi China untuk 2025 seiring membaiknya sentimen setelah tercapainya gencatan dagang. Namun, survei Bloomberg memperkirakan produk domestik bruto (PDB) China tahun ini hanya akan tumbuh 4,5%, jauh di bawah target resmi pemerintah sekitar 5%.
Raymond Yeung, Kepala Ekonom Wilayah China Raya di ANZ Banking Group Ltd., menilai output manufaktur pada Juni kemungkinan akan cukup solid setelah indeks output industri menyentuh level tertinggi tiga bulan di angka 51.
“Masalah utama bagi pembuat kebijakan sekarang bukanlah pertumbuhan, melainkan risiko deflasi dan pengangguran. Saya tidak khawatir soal PDB China," ujarnya.
Sementara itu, utusan Presiden AS Donald Trump untuk urusan China David Perdue baru-baru ini memperingatkan bahwa Washington ingin mengubah hubungan dagangnya dengan China dengan memulangkan banyak rantai pasok penting ke dalam negeri.
Menurut Perdue, para pemimpin AS selama ini terlalu abai terhadap pelemahan banyak sektor strategis dalam negeri, menandakan ketegangan dagang AS-China kemungkinan masih akan terus berlanjut.