Bisnis.com, JAKARTA -Sesuai target net zero emission pada 2060, pemerintah telah memiliki sejumlah program implementasi energi baru dan terbarukan (EBT). Dalam empat tahun ke depan, hingga 2025, dukungan diberikan dalam berbagai bentuk termasuk co-firing PLTU alias mencampur batu bara dengan bahan bakar biomassa.
Pembangkit EBT menghasilkan energi listrik yang ramah lingkungan. Gas rumah kaca (GRK) dan polutan seperti SO2, NOx, particulate matter, serta merkuri yang dihasilkan energi baru terbarukan lebih kecil dibandingkan energi fosil. Pengoperasian pembangkit EBT menjadi salah satu solusi dalam mengurangi dampak negatif tersebut.
Ketua Umum DPP Masyarakat Energi Biomassa Indonesia, Djoko Winarno, mengatakan bahwa upaya menambahkan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial ke dalam pembangkit-pembangkit listrik tenaga uap atau yang lazim disebut sebagai co-firing, mampu memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap keberadaan EBT.
“Yang jelas dan sudah pasti, co-firing akan mengurangi penggunaan energi fosil, dalam hal ini batubara, meningkatkan porsi bauran EBT dalam total bauran energi nasional dengan cara yang relatif cepat, relatif mudah dan murah karena tidak perlu membangun pembangkit baru baik PLTU maupun membangun PLTSampah, dan berefek sangat positif terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca,” papar Djoko dalam diskusi virtual Kontribusi Sektor Kehutanan untuk Pengembangan Energi Biomassa di Indonesia, Jumat (18/02/2022).
Hingga saat ini, dia mencatat co-firing sudah diterapkan pada ratusan PLTU Batubara di seluruh Indonesia, dengan kapasitas sedikitnya 18.154 MW.
Baca Juga
Untuk akselerasi pencapaian target bauran energi sebesar 23 persen pada tahun 2025, saat ini Perhutani sebagai salah satu anggota APHI, misalnya, telah melakukan uji coba program co-firing, untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Paiton, Jawa Timur, dan diujicobakan juga di PLTU Cikarang Listrindo, Jawa Barat.
Ditambahkan oleh CEO PT Protech Mitra Perkasa Tbk dan Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian KADIN, Bobby Gafur Umar, peluang co-firing biomassa di jaringan Jawa-Madura-Bali (Jamali) telah dikalkulasikan dan memiliki potensi yang menghasilkan.
“Co-firing 5 persen di PLTU Paiton akan bisa menghidupkan 8 industri biomassa. Sementara itu, co-firing 5 persen di sistem Jamali akan menghidupkan 160 industri biomassa dan menyerap 1.600 tenaga kerja lokal,” ujar Bobby.
Indroyono Soesilo, Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menjelaskan bahwa APHI juga siap mendukung program de-dieselisasi pembangkit tenaga listrik yang masih menggunakan minyak solar, terutama di kawasan timur Indonesia, dan digantikan dengan bahan baku energi biomassa yang biayanya lebih murah dibandingkan dengan harga minyak solar.
“Kami sedang melakukan penjajakan dan uji coba penggunaan energi biomassa untuk program de-dieselisasi pembangkit listrik di Pulau Bawean, Jawa Timur,” tutup Indro.