Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) menilai investasi pembangunan smelter alumina membutuhkan dana besar hingga US$1,2 miliar atau setara Rp17 triliun.
Adapun, pemerintah berencana melarang ekspor bauksit mulai akhir 2022. Namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa ekspor akan benar-benar dihentikan paling lambatt pada 10 Juni 2023.
Langkah ini diambil pemerintah untuk memberikan nilai tambah terhadap produk olahan bauksit. Apalagi nilai tambah olahan bauksit menjadi alumina diperkirakan mencapai 10 kali lipat.
“Kalau soal nilai tambah yang digaungkan pemerintah semua setuju. Cuma sekarang bagaimana mengejawantahkan smelter di Indonesia ini tidak mudah perlu US1,2 miliar dolar per smelter,” kata Pelaksana Harian Ketua Umum APB3I Ronald Sulistyanto kepada Bisnis, Minggu (13/2/2022).
Dia menyebut investasi ini tidak mudah diperoleh. Terlebih sebagian investor umumnya hanya menginginkan 100 persen kepemilikan saham. Kondisi ini membuat pengusaha dalam negeri harus gigit jari.
Menurutnya, kondisi ini harus disikapi pemerintah dengan memberikan pinjaman melalui perbankan anggota Himbara. Padahal setidaknya dibutuhkan sekitar 5 - 6 smelter pada area dekat tambang bauksit. Hal ini untuk mengoptimalkan serapan dari produksi tahunan komoditas tersebut.
Baca Juga
Di samping itu APB3I meminta pemerintah tetap membuka keran ekspor bauksit. Ronald menilai bahwa kebijakan tersebut akan memberikan devisa besa untuk negara, sembari pengusaha membangun smelter di Tanah Air.
Apalagi kata dia, cadangan bauksit menurut kajian Kementerian ESDM dapat mencapai 1,2 miliar ton. Jumlah ini sekitar 4 persen dari cadangan dunia. Indonesia juga menjadi negara dengan urutan keenam yang memiliki bauksit terbanyak di dunia.
Sejauh ini Indonesia memiliki tiga smelter alumina. Ketiganya yakni PT Well Harvest Winning AR, PT Indonesia Chemical Alumina, PT Bintan Alumina Indonesia serta smelter milik Inalum dan PT Antam, Tbk (ANTM).
Selain itu, PT Adaro Energy, Tbk. (ADRO) telah menyatakan segera membangun aluminium smelter pada Desember 2021. Proyek tersebut dijalankan oleh anak usahanya PT Adaro Aluminium Indoneisa. Perusahaan itu juga telah meneken surat pernyataan maksud investasi (letter of intention to invest) sebesar US$728 juta atau setara Rp10,41 triliun (kurs Rp14.300 per dolar).