Bisnis.com, JAKARTA – Citilink membeberkan sejumlah strategi utama untuk tetap bertahan di segmen layanan berbiaya hemat (low cost carrier/LCC) sekaligus menghadapi maskapai pesaing baru di segmen yang sama.
Seperti diketahui, penerbangan Indonesia diramaikan kehadiran maskapai yang terjun ke segmen LCC selama pandemi Covid-19. Sebut saja, maskapai baru Super Air Jet yang mengudara di segmen LCC. Selain itu, TransNusa yang sebelumnya hanya melayani rute penerbangan berjadwal di wilayah timur Indonesia juga beroperasi kembali dengan branding baru menjadi maskapai LCC.
Direktur Utama Citilink Juliandra Nurcahyo mengatakan saat ini Citilink masih memiliki keunggulan sebagai anak usaha maskapai penerbangan nasional, PT Garuda indonesia Tbk. (GIAA).
Dengan demikian, lanjutnya, Citilink mempunyai ‘DNA’ untuk menjamin pelanggan mempunyai maskapai yang menjalankan praktek keselamatan penerbangan dengan disiplin, penerapan protokol kesehatan dengan ketat sesuai ketentuan dan tingkat layanan yang prima.
Hal-hal tersebut, terangnya, akan menjadi strategi Citilink untuk mencetak kinerja yang positif sepanjang 2022. Termasuk di tengah persaingan sengit maskapai LCC.
“Layanan kami adalah hassle-free, penerbangan dengan layanan tanpa masalah. Tentunya dengan keramah-tamahan khas leluhur Indonesia yang selama ini kita banggakan. Citilink berupaya keras untuk menjalankan semua itu dengan disiplin,” ujarnya, Kamis (10/2/2022).
Lebih dari itu, Citilink juga menambah lagi fokus layanan dengan memastikan seluruh touch point dengan pelanggan mengikuti protokol kesehatan, sesuai dengan ketentuan persyaratan global maupun dari Kementerian Kesehatan. Selain itu, Citilink juga akan menerapkan manajemen cash flow yang baik.
Tak hanya itu, beber Juliandra, Citilink juga secara aktif membangun sistem loyalitas. Saat ini, Citilink terus menambah keuntungan dari terbang bersama Citilink dengan melebarkan kerjasama dengan pihak ketiga yang sudah dikaji secara tepat sesuai dengan kebutuhan segmen Citilink.
Pandemi ini, sebutnya, telah membuat banyak pesawat menjadi tidak aktif akibat tingkat permintaan yang turun drastis. Oleh karena itu, dia mengatakan ada biaya yang cukup besar untuk menambah jumlah pesawat yang laik terbang kembali sejalan dengan tingkat permintaan yang mulai tumbuh.
Menurutnya, saat ini, efisiensi di segala bidang adalah kunci bagi Citilink selain keterlibatan dengan dengan tim dan karyawan. Dia berpendapat keberadaan tim karyawan juga penting untuk kelangsungan hidup Citilink. Perseroan mengupayakan untuk tetap menjaga motivasi melalui strategi komunikasi yang berkala dan program pelatihan yang tepat.
“Dapat dilihat bahwa buat Citilink, strategi biaya tidak lepas dari strategi manajemen people dan ini adalah kunci bagi kami,” tekannya.
Di sisi lain, dia tak menampik bahwa dampak pandemi ini cukup memukul industri penerbangan termasuk LCC. Namun, karena dampak ekonomi yang berat dari pandemi juga menguntungkan bagi LCC dengan harga tiket yang lebih terjangkau.
Belum lagi, penerbangan lintas negara khususnya yang bersifat long-haul (penerbangan jarak jauh) menjadi menurun drastis akibat penerapan protokol isolasi atau karantina yang ketat dari setiap negara.
Fenomena ini membuat penerbangan jarak pendek, yang selama ini menjadi pasar LCC, masih bertahan walau juga dengan volume yang menurun drastis. Penerbangan jarak pendek ini juga tidak membutuhkan layanan bersifat full service sehingga kembali menjadi keuntungan bagi maskapai LCC.
“Ketika pasar nantinya bounce back, para pakar di bidang penerbangan juga sepakat bahwa LCC-lah yang akan lebih dulu menikmati up trend ini. Oleh karena itu, prospek ke depan buat LCC, masih jauh lebih baik dibandingkan dengan full service,” jelasnya.